by Achmad Romadon Mubarok
Kawasan Asia Timur menyimpan permasalahan soal
demografi kependudukan. Bila Tiongkok yang populer dengan One Child Policy, akibat ledakan populasi yang dianggap mengancam
keberlangsungan ekonomi, lain hal dengan Jepang dan Korea Selatan yang sedang
menghadapi situasi meningkatnya grey
population. Permaslahan tersebut mendatangkan pekerjaan besar di masa depan
bagi ketiga negara, tidak mungkin negara ditopang oleh kalangan yang berusia
non-produktif, dan bahaya jika negara tidak bisa mengontrol laju pertumbuhan
penduduk. Mungkin untuk Jepang dan Korea Selatan pengaruh kuat dari ideologi
konfusianisme, yang menjunjung tinggi kerja keras, etos kerja dan sangat
produktif dalam bekerja masih melekat sebagai bagian dari budaya masyarakat,
sehingga abai untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dan seolah-olah menikah
kemudian memiliki anak merupakan kedua hal yang menghambat dalam mengembangkan
diri khususnya soal pekerjaan. Kali ini akan dimulai dari Tiongkok, terutama
menyoroti soal pemberlakuan One Child
Policy dan Two-Child Policy. Tiongkok
mulai menerapkan kebijakan One Child
Policy pada tahun 1979, dan diberlakukan secara mengikat (mandatory) terhadap rakyat Tiongkok yang
mana memperbolehkan setiap pasangan hanya memiliki satu anak, jika ketauahan
melanggar akan mendapat sanksi tegas berupa pendindakan secar hukum oleh
pemerintah.
Alasan utama mengapa Tiongkok menerapkan One Child Policy merupakan upaya
pemerintah menekan laju pertumbuhan penduduk dan mencegah terjadinya ledakan
penduduk. Presiden Deng Xiaoping khawatir pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak
mampu menahan ledakan populasi yang terjadi, oleh karena itu diterapkanlah One Child Policy yang mewajibkan satu
keluarga hanya memiliki satu anak. Pemerintah Tiongkok turut mengatur secara
rinci mulai dari masa perkawinan, usia pernikahan, waktu kehamilan, metode
pengendalian kehamilan (Keluarga Berencana), jarak kelahiran setiap bayi,
sampai jumlah angka kelahiran secara nasional semua diatur oleh pemerintah
dengan ekstra ketat. Tak aneh jika dampak dari kebijakan ini mendatangkan
praktek aborsi ilegal yang angkanya sangat fantastis. Terlepas dari kontroversi
penerapan kebijakan satu anak ala Tiongkok yang dianggap melanggar HAM,
kebijakan Tiongkok medatangkan kemajuan (Banister & Harbaugh, 1994).
Menurut laporan United Nations Population
Division-BBC pada tahun 2015 menyebutkan, sejak diterapkannya One Child Policy, Tiongkok dianggap
berhasil mencegah angka kelahiran hingga mencapai 400 juta jiwa, namun yang
dikhawatirkan adalah struktur demografi Tiongkok yang semakin didominasi oleh
usia non-produktif alias kelompok usia tua. Kondisi yang dialami Tiongkok
selama menerapkan One Child Policy disebut
ageing population (Du & Wang,
2011). Kondisi semacam ini semakin
mengkhawatirkan masa depan Tiongkok, jika jumlah usia produktif lebih kecil
dibanding usia non-produktif artinya negara lebih fokus ke pembiayaan atau
merawat usia non-produktif. Pada tanggal 29 Oktober 2015, Partai Komunis
Tiongkok mengumumkan pemerintah mengubah kebijakan dari semula One Child Policy kini diperbolehkan
memiliki dua anak di setiap keluarga (two-child
policy). Kebijakan Two-Child Policy sekaligus
menjadi penanda akhir 35 tahun rakyat Tiongkok hidup di aturan pemerintah yang
sangat ketat, One Child Policy. Two-Child
Policy diberlakukan secara efektif di bawah kepemimpinan Presiden
Xi-Jinping mulai 1 Januari 2016 di seluruh Tiongkok.
Pasca Pemerintah Tiongkok mengumumkan kebijakan
barunya yang memperbolehkan setiap keluarga memiliki dua anak, dampak pertama
yang dirasakan oleh pemerintah adalah meningkatnya angka kelahiran di tahun
2016. Menurut data dari CNN tahun 2017, jumlah kelahiran bayi di Tiongkok pada
tahun 2016 meingkat tajam di angka 7,9 persen dari tahun sebelumnya. CNN
menambahkan, total 17,86 juta bayi lahir sepanjang tahun 2016. Namun kebijakan
baru Tiongkok ini, memaksa Tiongkok untuk bersabar menunggu tumbuhnya usia
produktif atau angkatan kerja yang baru. Bayangkan selama 35 tahun, pertumbuhan
penduduk Tiongkok sangat melambat dan didominasi oleh usia yang tidak produktif
lagi, tidak mungkin dengan cepatnya mampu merestrukturisasi perekonomian
Tiongkok. Pemerintah Tiongkok tetap berharap melalui kebijakan baru ini, roda
ekonomi berjalan efektif pada beberapa tahun ke dapan, kesejahteraan masyarakat
meningkat dengan memiliki dua anak dan industri di Tiongkok tetap normal karena
masih tersedeianya usia angkatan kerja. Contohnya adalah industri susu formula
dan popok bayi mengalami peningkatan permintaan di Tiongkok, pasca pemerintah
mengubah kebijakan soal kependudukan, hal ini tentu membuka peluang dan
lapangan kerja baru.
Selanjutnya adalah Jepang, negeri yang berjuluk
Negeri Sakura ini memiliki kehebatan yang diakui internasional. Di sisi lain,
Jepang kini menduduki pertingkat tertinggi negara dengan jumlah populasi usia
non-produktif terbanyak di dunia. Rata-rata usia penduduk Jepang 46 tahun, dan
seperempat komposisi penduduk Jepang didominasi oleh lanjut usia (ageing population). Artinya,
perbandingan antara penduduk usia produktif dengan non-produktif cukup tinggi, Jepang di sini mengalami efisit usia
angkatan kerja. Bukan soal umur, melainkan penduduk yang masih produktif di
usia muda. Salah satu faktor mengapa Jepang mengalami permasalahn demografi
semacam ini adalah rendahnya angka pernikahan sehingga menyebabkan rendahnya
angka kelahiran bayi di Jepang. Akibatnya, kemajuan yang dialami Jepang
dinikmati oleh kaum lanjut usia, negara justru membayar usia produktif karena
roda perekonomiannya didominasi oleh usia rata-rata 46. Kemudian realita
Pemerintah Jepang yang menerima data bahwa jumlah angka pernikahan yang terus
menurun dalam tiga tahun terakhir (2012-2015) mencapai 635.000 pernikahan saja
dengan rata-rata usia nikah 31,1 tahun untuk pria dan 29,4 tahun untuk wanita.
Angka kematian juga menjadi perhatian dari
Pemerintah Jepang, tingginya angka kematian tak diimbangi dengan tingginya
angka kelahiran, bahkan pada tahun 2015 saja populasi Jepang menurun sebanyak
285.000 jiwa. Laporan dari CNN Indonesia menyebutkan populasi Jepang muali
terlihat menurun sejak tahun 2010, di angka 128 juta jiwa, dan diperkirakan
angka ini terus menurun di 108 juta jiwa tahun 2050 sampai 108 juta jiwa di
tahun 2060. Penurunan ini akan terus terjadi jika angka kelahiran dan aktivitas
imigrasi yang masif. Saat ini pemerintah Jepang tengah berupaya meluncurkan
berbagai program yang mendukung untuk meningkatkan angka kelahiran seperti
pemberian fasilitas child care dan
insentif pajak guna mendorong wanita Jepang mau memiliki keturunan. Bagi
Pemerintah Jepang, keberadaan jumlah usia produktif sangat berkontribusi bagi
perekonomiannya. Sehingga negara tak lagi menanggung beban usia non-produktif,
dan memperoleh jaminan keamanan terhadap stabilitas perekonomian Jepang
(Hewitt, 2007). Korea Selatan mengalami permaslahan grey population di tahun 1970-an, yang dilatarbelakangi oleh
permasalahan ledakan populasi tahun 1960-an. Pemerintah Korea Selatan kemudian
mengambil beberapa langkah di periode yang berbeda, tercatat pada tahun 1968
Korea Selatan mengeluarkan Three Child Policy,
tahun 1971 diberlakukan Two Child
Policy, dan yang terakhir pada tahun 1980-an diterapkan One or Two Child Policy (Howe et al,
2007). Namun respon yang diberikan pasca pemberlakuan kebijakan ini justru
membuat angka fertilitas di Korea Selatan terus mengalami penurunan. Tercatat,
tahun 2016 Korea Selatan memperoleh angka 1,1 rasio fertilitas dan menjadi
angka rasio fertilitas terendah di dunia. Kondisi ini dikhawatirkan akan
menambah beban negara yang mana kemudia hari akan banyak jumlah penduduk lanjut
usia daripada penduduk produktif.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa ledakan populasi menjadi perhatian penting bagi setiap negara, di mana
ada ledakan populasi pasti akan menciptakan permasalahan sosial yang baru.
Sebagai negara yang tumbuh menjadi New
Industrial Countries (NICs), baik Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan
mengalami permasalahan yang sama soal kependudukan. Tiongkok yang dikenal
sebagai negara pemilik penduduk terbanyak di dunia, tembus di angka 1 milyar akan
semakin mengkhawatirkan jika pertumbuhan penduduknya tidak dikontrol. Wilayah
yang semakin sempit, sumber daya alam yang semakin terbatas akan menciptakan
kelangkaan (scarcity). Begitu pula
dengan Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara industri memerlukan usia produktif
untuk menopang roda perekonomian. Sumber daya manusia sangat penting bagi
setiap negara untuk mendukung upaya pembangunan infrastrukur dan ekonomi. Jika
negara dihadapkan kondisi di mana jarak
antara jumlah usia produktif dan non-produktif sangat timpang, tentu berbahaya
bagi negara. Negara akan membayar usia produktif, karena lanjut usia masih
aktif bekerja meski dalam waktu yang tidak bertahan lama. Dan mungkin ini
berakar dari kebudayaan kebanyakan negara-negara di Asia Timur, yang
terpengaruh ajaran konfusianisme. Sehingga lebih mengutamakan nilai-nilai
individual seperti semangat kerja yang tinggi, disiplin dan bekerja secara
produktif namun tidak menghitung kosekuensi apabila tidak menikah atau menikah
di usia tua atau menikah tapi memilih tidak memiliki anak.
Referensi:
Banister
and Harbaugh. 1994. China’s Family Planning
Program: Inputs And Outcomes,
Du, Yang and Wang, Melyan. 2011. Population
Ageing, Domestic Consumption, and Future Economic Growth in China pp 301-314 in
in Ligang Song and Jane Gooley (eds). Rising China: Global Challenges and
Opportunities. Canberra: ANU E Press.
Hewitt, Paul S. 2007. The
Grey Roots of Japan’s Crisis dalam The
Demographic Dilemma: Japan’s Aging Society. Woodrow Wilson International
Center.
Howe,
Neil, et al. 2007. The Aging of Korea:
Demographics and Retirement Policy in the Land of the Morning Calm. Washington:
CSIS.