• LinkedIn

Senin, 08 Juni 2020

KIB Talk: Edisi Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Apakah Pandemi Covid-19 Membantu Bumi Bernafas Lega Sejenak Jumat, 5 Juni 2020

20.34 // by KIBcentre // No comments






Muhammad Irfan Evrizal adalah alumni mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sriwijaya yang juga merupakan Founder Self Learning Institute. Berangkat dari kepedulian terhadap isu lingkungan di Tasikmalaya, membuat Rizal merasa terpanggil untuk menjadi aktivis dalam memerangi aktivitas penambangan pasir secara konvensional yang marak terjadi di Gunung Galunggung. Tentu saja, akibat dari aktivitas penambangan pasir ini memiliki dampak pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Berkurangnya jumlah bukit pada Gunung Galunggung, kekeringan air dan tercemarnya sungai menjadi kenyataan pahit yang dialami.
Pada tahun 2015, Rizal dan beberapa masyarakat Cintaraja Tasikmalaya berinisiatif untuk membentuk Komunitas Penyelamat Lingkungan Cintaraja (KPLC). Cintaraja adalah sebuah desa yang terletak di pusat kota kabupaten Tasikmalaya, di mana Citaraja menjadi wilayah satu-satunya yang dijadikan ruang terbuka hijau di Kabupaten Tasikmalaya. Fokus dari KPLC ini adalah gerakan perlawanan terhadap aktivitas pertambangan yang seringkali membuat para aktivisnya berhadapan langsung dengan oknum preman dan alat berat. Pada akhir tahun 2015, gerak dari KPLC ini dinilai menjadi tidak efektif karena justru menjadi kesempatan bagi beberapa oknum yang ingin memanfaatkan momentum penutupan lokasi pertambangan dengan cara mendapatkan uang dari aktivitas penutupan dan pembukaan kembali lahan tambang tersebut.
Tahun 2016 menjadi awal dari perubahan arah gerak yang dilakukan oleh Rizal, yang semula gerakan berbasis perlawanan menjadi gerakan berbasis kesadaran untuk melestarikan lingkungan. Rizal meyakini permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini bukan hanya dihadapi oleh para aktivis lingkungan dan masyarakat sekitar yang terdampak saja, akan tetapi masalah bagi semua orang.

KIB TALK: #BLACKLIVESMATTER X #PAPUANLIVESMATTER BAGAIMANA CARA MENYIKAPI RASISME

20.33 // by KIBcentre // No comments




Baru-baru ini warga dunia diramaikan dengan kasus kematian George Floyd (46 tahun), pria keturunan Afro-Amerika yang tinggal di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS). Kematiannya menyulut amarah dan aksi besar-besaran di berbagai negara bagian AS, hingga meluas ke pelosok dunia. Hal itu lantaran Floyd mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi setelah petugas Kepolisian Minneapolis menangkap Floyd dengan tuduhan dirinya membeli rokok dengan uang kertas USD20 palsu. Massa aksi solidaritas untuk George Floyd berkumpul untuk mendoakan, menunjukkan rasa empati, menolak supremasi kulit putih, dan menuntut keadilan bagi George Floyd agar kasusnya diusut hingga tuntas dan petugas Kepolisian Minneapolis dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Netizen di berbagai belahan dunia pun ramai-ramai berkomentar di media sosial Twitter melalui tagar #BlackLivesMatter sebagai bentuk empati terhadap Geroge Floyd dan menolak supremasi kulit putih di berbagai belahan dunia.
            Seiring dengan hal itu, di dalam negeri isu terkait hak-hak warga Papua turut muncul ke permukaan dan menjadi perbincangan dunia maya dengan turut munculnya tagar #PapuanLivesMatter. Kejadian George Floyd, mengingatkan bangsa Indonesia bahwa perlakuan rasis di Indonesia juga masih terjadi, utamanya terhadap warga Papua dan Timur Indonesia. Tagar #PapuanLiesMatter berangkat dari memori tindakan rasis yang dilakukan aparat kepolisian Indonesia terhadap Obby Kogoya yang juga mendapat perlakuan serupa.
            KIB Centre menggelar program diskusi secara daring berjudul KIB Talk: #BlackLivesMatter x #PapuanLivesMatter. Bagaimana Cara Menyikapi Rasisme? Untuk membedah aksi solidaritas George Floyd, munculnya tagar #BlackLivesMatter yang menentang supremasi kulit putih dan rasisme, hingga menjalar pada munculnya tagar #PapuanLivesMatter serta untuk memberikan pemahaman maupun pandangan bentuk tindakan rasis dan bagaimana menyikapi serta mengantisipasi rasisme dari diri sendiri. Mira Permatasari Dharmawan selaku Direktur The Yudhoyono Institute dan Rika Adistyarini Schmall selaku diaspora Indonesia di Amerika Serikat membagikan pandangannya terkait permasalahan ini dari perspektif akademisi, khususnya dari kacamata ilmu Hubungan Internasional dan juga bagaimana kehidupan sebagai kelompok minoritas dan pendatang di Amerika Serikat.
            Rika Schmall menceritakan kasus rasisme merupakan hal yang sangat kompleks karena Amerika Serikat memiliki catatan kelam mengenai sejarah panjang perbudakan di masa lalu. Bangsa Amerika belum sepenuhnya terlepas dari isu rasisme dan keadilan sosial untuk kaum kulit hitam meskipun perbudakan telah lama dihapuskan. Kasus bermuara dari sentimen rasisme yang terjadi berulang kali dan menjadi semacam fenomena gunung es yang menimbulkan kegaduhan dalam negeri. Hal ini diperparah ketika dalam waktu yang bersamaan, Amerika Serikat sedang berjuang keras sebagai negara yang terinfeksi wabah Covid-19 tertinggi di dunia.  Tak bisa dipungkiri bahwa kasus yang menimpa Floyd telah menyulut kemarahan massal yang berujung pada aksi penjarahan dan kericuhan yang terjadi di banyak negara bagian di Amerika Serikat. Rika melaporkan situasi di tempat tinggalnya, Washington DC, hampir setiap hari masih terjadi gelombang demonstrasi dengan konsentrasi massa yang lebih besar namun dinilai lebih kondusif dibandingkan dengan aksi yang sama yang terjadi di negara bagian lainnya. Hal ini dikarenakan Washington DC merupakan salah satu negara bagian yang menjunjung tinggi perbedaan dan kemajemukan.
            Mira Permatasari menekankan kembali bahwa kasus yang dialami oleh George Floyd merupakan pengingat bagi kita semua bahwa diskriminasi dapat terjadi kepada siapapun dan di manapun tak terkecuali di Amerika Serikat yang mendapat julukan A Champion of Democracy. Kritik yang diberikan oleh beberapa negara seperti Cina, Iran, Ghana, Kenya dan Eropa kepada Amerika Serikat membuat kita mempertanyakan kembali sistem demokrasi di sana. Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono beberapa hari lalu membuat tulisan yang menggambarkan bahwa Amerika Serikat saat ini sedang berada pada situasi sulit karena menghadapi 3 isu besar yakni kasus Covid-19, kerusuhan dan permasalahan ekonomi. Beliau mengatakan bahwa sejarah akan membuktikan apa yang bisa terjadi dengan Amerika Serikat. Isu ini kemudian menjadi penting untuk kita, karena Indonesia memiliki lebih dari 600 etnis yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keberagaman budaya. Terlebih Indonesia pernah menghadapi berbagai krisis tentang banyak hal, yang membuat kita tidak bisa menjadikan kasus kekerasan seperti yang terjadi kepada Floyd sebagai pembiaran.
            Meskipun apa yang terjadi dengan Floyd tidak bisa disamakan dengan kasus diskriminasi yang terjadi dengan saudara kita di Papua, akan tetapi kita dapat menemukan benang merah yang sama, yakni kemanusiaan dan keadilan. Jadikan momentum saat ini sebagai refleksi untuk lebih perhatian terhadap siapapun etnis di negeri ini. Kita harus bertanya kepada pemerintah, sejauh mana mereka memperhatikan hak-hak saudara kita di Papua, seperti apa bentuk dukungan yang seharusnya kita berikan untuk mereka. Prinsipnya adalah apa yang terjadi di Indonesia dengan segala kerawanan yang kita hadapi, harus dipastikan bahwa keadilan dan hukum adalah panglimanya. Kebebasan berpendapat dan suara rakyat harus didengar. Itu bukan hanya tugas pemerintah, tetapi kita semua harus mengambil peran untuk menegakkan keadilan di Indonesia.
            Mengenai cara untuk mengantisipasi dan menyikapi rasisme, Rika mengatakan bahwa menjunjung tinggi nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan di Amerika dinilai efektif  dalam menjaga nama baik dan citra Indonesia. Menjadi minoritas di Amerika Serikat merupakan keunikan tersendiri bagi Rika Schmall. Walaupun Rika mendapatkan sambutan baik dari masyarakat sekitar, dirinya harus mampu untuk beradaptasi dalam bermasyarakat dan berteman dengan berbagai kalangan serta komunitas setempat, masyarakat etnis lain sebagai bagian dari upaya untuk menghargai keberagaman. Menurut Rika, semua individu, terlepas dari warna kulit, ras atau etnis dan agamanya memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan hidup layak, mendapatkan pekerjaan sesuai kapabilitasnya dan berhak untuk dihargai hidupnya secara sama. Hal serupa diungkapkan oleh Mira, menurutnya di tengah keberagaman dan keunikan yang dimiliki Indonesia saat ini menjadi momentum yang sangat baik untuk menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.


Senin, 13 April 2020

PANDUAN OPREC 2020

20.43 // by KIBcentre // No comments

PANDUAN PENDAFTARAN CALON ANGGOTA  BARU 
KOMUNITAS INDONESIA BERSATU 2020







CONTOH FORMAT CV :



Kamis, 09 April 2020

Peluang Bisnis Startup Ditengah Pandemi COVID-19

23.07 // by KIBcentre // No comments





By : Herjuna Ardi Prakosa

COVID-19 atau yang kita kenal juga dengan Virus Corona  menjadi perhatian serius seluruh dunia.  Pandemi ini  berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi di Indoensia. Tetapi bagaimana bisnis statrup di Indonesia menghadapi Virus Corona ini ?

Wabah virus corona ternyata  tidak menghentikan jalannya bisnis startup seorang anak muda yang berbisnis kopi dengan menggunakan teknologi moderen. Dilansir dari Kompas.com, Jago Coffee perusahaan startup yang dikembangkan oleh pebisnis muda Yoshua Tanu, Justru membuka lowongan kerja. CEO Jago Coffee Yoshua Tanu mengatakan lowongan kerja yang dibuka yakni untuk posisi Jagopreneur yaitu barista yang sekaligus menjajakan kopi dengan sepeda listrik.

Sampai saat ini belum ada yang mengetahui kapan pandemi virus corona akan berakhir. Namun dapat dilihat bahwa ada  peluang munculnya startup baru yang dapat dibutuhkan masyarakat yang sangat terbatas untuk melakuakan mobilitas ditengah karantina mandiri untuk pencegahan Corona. Saat ini ada peluang bagi masyarakat yang membutuhkan Sistem Informasi tentang Corona maupun Aplikasi jasa yang dapat memudahkan mendapatkan barang kebutuhan pokok, Alat Pelindung Diri (APD), pemetaan wilayah rawan Corona dan masih banyak lagi kebutuhan informasi yang dapat dikembangkan menjadi peluang bisnis startup.  Dikutip dari katadata.co.id Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan akan ada peluang ekonomi yang masih bisa bergerak di tengah pandemi ini terutama bisnis startup. 

Dilihat dari perkembangan bisnis startup di Indonesia, Perusahaan startup dan industri ekonomi digital, saat ini tengah menjadi sektor usaha yang begitu potensial bagi perekonomian Indonesia. Selain terlihat pada meningkatnya jumlah startup Indonesia yang berpredikat sebagai “Unicorn”, hal ini juga terlihat pada tren tiga tahun belakangan ini, dimana investor asing mulai gencar menanamkan modalnya hingga mencapai 2 miliar US dollar, atau sebesar Rp. 27,98 triliun jika dirupiahkan dengan kurs Rp. 13.999 per US dollar, kedalam sektor usaha tersebut (Kompas.id ).

Namun ternyata mengembangkan bisnis startup tidak semudah yang dibayangkan, menurut Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, startup yang sukses hanya 5% saja. Mengembangkan sebuah startup harus diiringi dengan inovasi serta dampak sosial yang positif bagi masyarakat. Kejelian dalam melihat potensi bisnis pun menjadi penting agar startup yang dibentuk tak hanya muncul untuk meramaikan tren start up yang sedang menjamur saja.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada peluang mengembangkan bisnis stratup ditengah pandemi Corona. Ada banyak permasalahan dimasyarakat yang dapat menjadi solusi dan  diimplementasikan menjadi sebuah sistem informasi.  banyak peluang membangun aplikasi jasa belanja dengan sistem pesan hantar, serta ada kesempatan mengembangkan Aplikasi pemetaan wilayah yang terjangkit Virus Corona, Sistem Informasi Ketersedian Alat Pelindung Diri, dan pembelajaran online maupun rapat secara virtual. masih disektor industri berbasis teknologi ada peluang mengembangkan  produk Internet of Thing (IoT) seperti Pendeteksi Suhu Tubuh, Alat penyemprot disinfektan otomatis, dan masih banyak lagi peluang produk lainnya.

Kesempatan tersebut juga harus mempertimbangka sisi permodalan yang kita tahu ekonomi di Dunia maupun di Indonesia ikut goyah akibat Corona,  dan tak lupa untuk mempertimbangkan apakah setelah Pandemi Covid19 ini berkahir Startup yang akan dikembangkan akan tetap terjaga eksistensinya.  




Rabu, 22 Januari 2020

Ledakan Populasi dan Rendahnya Tingkat Fertilitas: Dua Masalah Utama Kependudukan di Tiga Negara Kawasan Asia Timur

20.54 // by KIBcentre // No comments







by Achmad Romadon Mubarok

Kawasan Asia Timur menyimpan permasalahan soal demografi kependudukan. Bila Tiongkok yang populer dengan One Child Policy, akibat ledakan populasi yang dianggap mengancam keberlangsungan ekonomi, lain hal dengan Jepang dan Korea Selatan yang sedang menghadapi situasi meningkatnya grey population. Permaslahan tersebut mendatangkan pekerjaan besar di masa depan bagi ketiga negara, tidak mungkin negara ditopang oleh kalangan yang berusia non-produktif, dan bahaya jika negara tidak bisa mengontrol laju pertumbuhan penduduk. Mungkin untuk Jepang dan Korea Selatan pengaruh kuat dari ideologi konfusianisme, yang menjunjung tinggi kerja keras, etos kerja dan sangat produktif dalam bekerja masih melekat sebagai bagian dari budaya masyarakat, sehingga abai untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dan seolah-olah menikah kemudian memiliki anak merupakan kedua hal yang menghambat dalam mengembangkan diri khususnya soal pekerjaan. Kali ini akan dimulai dari Tiongkok, terutama menyoroti soal pemberlakuan One Child Policy dan Two-Child Policy. Tiongkok mulai menerapkan kebijakan One Child Policy pada tahun 1979, dan diberlakukan secara mengikat (mandatory) terhadap rakyat Tiongkok yang mana memperbolehkan setiap pasangan hanya memiliki satu anak, jika ketauahan melanggar akan mendapat sanksi tegas berupa pendindakan secar hukum oleh pemerintah.

Alasan utama mengapa Tiongkok menerapkan One Child Policy merupakan upaya pemerintah menekan laju pertumbuhan penduduk dan mencegah terjadinya ledakan penduduk. Presiden Deng Xiaoping khawatir pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak mampu menahan ledakan populasi yang terjadi, oleh karena itu diterapkanlah One Child Policy yang mewajibkan satu keluarga hanya memiliki satu anak. Pemerintah Tiongkok turut mengatur secara rinci mulai dari masa perkawinan, usia pernikahan, waktu kehamilan, metode pengendalian kehamilan (Keluarga Berencana), jarak kelahiran setiap bayi, sampai jumlah angka kelahiran secara nasional semua diatur oleh pemerintah dengan ekstra ketat. Tak aneh jika dampak dari kebijakan ini mendatangkan praktek aborsi ilegal yang angkanya sangat fantastis. Terlepas dari kontroversi penerapan kebijakan satu anak ala Tiongkok yang dianggap melanggar HAM, kebijakan Tiongkok medatangkan kemajuan (Banister & Harbaugh, 1994).

Menurut laporan United Nations Population Division-BBC pada tahun 2015 menyebutkan, sejak diterapkannya One Child Policy, Tiongkok dianggap berhasil mencegah angka kelahiran hingga mencapai 400 juta jiwa, namun yang dikhawatirkan adalah struktur demografi Tiongkok yang semakin didominasi oleh usia non-produktif alias kelompok usia tua. Kondisi yang dialami Tiongkok selama menerapkan One Child Policy disebut ageing population (Du & Wang, 2011). Kondisi semacam ini semakin mengkhawatirkan masa depan Tiongkok, jika jumlah usia produktif lebih kecil dibanding usia non-produktif artinya negara lebih fokus ke pembiayaan atau merawat usia non-produktif. Pada tanggal 29 Oktober 2015, Partai Komunis Tiongkok mengumumkan pemerintah mengubah kebijakan dari semula One Child Policy kini diperbolehkan memiliki dua anak di setiap keluarga (two-child policy). Kebijakan Two-Child Policy sekaligus menjadi penanda akhir 35 tahun rakyat Tiongkok hidup di aturan pemerintah yang sangat ketat, One Child Policy. Two-Child Policy diberlakukan secara efektif di bawah kepemimpinan Presiden Xi-Jinping mulai 1 Januari 2016 di seluruh Tiongkok.

Pasca Pemerintah Tiongkok mengumumkan kebijakan barunya yang memperbolehkan setiap keluarga memiliki dua anak, dampak pertama yang dirasakan oleh pemerintah adalah meningkatnya angka kelahiran di tahun 2016. Menurut data dari CNN tahun 2017, jumlah kelahiran bayi di Tiongkok pada tahun 2016 meingkat tajam di angka 7,9 persen dari tahun sebelumnya. CNN menambahkan, total 17,86 juta bayi lahir sepanjang tahun 2016. Namun kebijakan baru Tiongkok ini, memaksa Tiongkok untuk bersabar menunggu tumbuhnya usia produktif atau angkatan kerja yang baru. Bayangkan selama 35 tahun, pertumbuhan penduduk Tiongkok sangat melambat dan didominasi oleh usia yang tidak produktif lagi, tidak mungkin dengan cepatnya mampu merestrukturisasi perekonomian Tiongkok. Pemerintah Tiongkok tetap berharap melalui kebijakan baru ini, roda ekonomi berjalan efektif pada beberapa tahun ke dapan, kesejahteraan masyarakat meningkat dengan memiliki dua anak dan industri di Tiongkok tetap normal karena masih tersedeianya usia angkatan kerja. Contohnya adalah industri susu formula dan popok bayi mengalami peningkatan permintaan di Tiongkok, pasca pemerintah mengubah kebijakan soal kependudukan, hal ini tentu membuka peluang dan lapangan kerja baru.

Selanjutnya adalah Jepang, negeri yang berjuluk Negeri Sakura ini memiliki kehebatan yang diakui internasional. Di sisi lain, Jepang kini menduduki pertingkat tertinggi negara dengan jumlah populasi usia non-produktif terbanyak di dunia. Rata-rata usia penduduk Jepang 46 tahun, dan seperempat komposisi penduduk Jepang didominasi oleh lanjut usia (ageing population). Artinya, perbandingan antara penduduk usia produktif dengan non-produktif cukup  tinggi, Jepang di sini mengalami efisit usia angkatan kerja. Bukan soal umur, melainkan penduduk yang masih produktif di usia muda. Salah satu faktor mengapa Jepang mengalami permasalahn demografi semacam ini adalah rendahnya angka pernikahan sehingga menyebabkan rendahnya angka kelahiran bayi di Jepang. Akibatnya, kemajuan yang dialami Jepang dinikmati oleh kaum lanjut usia, negara justru membayar usia produktif karena roda perekonomiannya didominasi oleh usia rata-rata 46. Kemudian realita Pemerintah Jepang yang menerima data bahwa jumlah angka pernikahan yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir (2012-2015) mencapai 635.000 pernikahan saja dengan rata-rata usia nikah 31,1 tahun untuk pria dan 29,4 tahun untuk wanita.

Angka kematian juga menjadi perhatian dari Pemerintah Jepang, tingginya angka kematian tak diimbangi dengan tingginya angka kelahiran, bahkan pada tahun 2015 saja populasi Jepang menurun sebanyak 285.000 jiwa. Laporan dari CNN Indonesia menyebutkan populasi Jepang muali terlihat menurun sejak tahun 2010, di angka 128 juta jiwa, dan diperkirakan angka ini terus menurun di 108 juta jiwa tahun 2050 sampai 108 juta jiwa di tahun 2060. Penurunan ini akan terus terjadi jika angka kelahiran dan aktivitas imigrasi yang masif. Saat ini pemerintah Jepang tengah berupaya meluncurkan berbagai program yang mendukung untuk meningkatkan angka kelahiran seperti pemberian fasilitas child care dan insentif pajak guna mendorong wanita Jepang mau memiliki keturunan. Bagi Pemerintah Jepang, keberadaan jumlah usia produktif sangat berkontribusi bagi perekonomiannya. Sehingga negara tak lagi menanggung beban usia non-produktif, dan memperoleh jaminan keamanan terhadap stabilitas perekonomian Jepang (Hewitt, 2007). Korea Selatan mengalami permaslahan grey population di tahun 1970-an, yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ledakan populasi tahun 1960-an. Pemerintah Korea Selatan kemudian mengambil beberapa langkah di periode yang berbeda, tercatat pada tahun 1968 Korea Selatan mengeluarkan Three Child Policy, tahun 1971 diberlakukan Two Child Policy, dan yang terakhir pada tahun 1980-an diterapkan One or Two Child Policy (Howe et al, 2007). Namun respon yang diberikan pasca pemberlakuan kebijakan ini justru membuat angka fertilitas di Korea Selatan terus mengalami penurunan. Tercatat, tahun 2016 Korea Selatan memperoleh angka 1,1 rasio fertilitas dan menjadi angka rasio fertilitas terendah di dunia. Kondisi ini dikhawatirkan akan menambah beban negara yang mana kemudia hari akan banyak jumlah penduduk lanjut usia daripada penduduk produktif.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ledakan populasi menjadi perhatian penting bagi setiap negara, di mana ada ledakan populasi pasti akan menciptakan permasalahan sosial yang baru. Sebagai negara yang tumbuh menjadi New Industrial Countries (NICs), baik Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan mengalami permasalahan yang sama soal kependudukan. Tiongkok yang dikenal sebagai negara pemilik penduduk terbanyak di dunia, tembus di angka 1 milyar akan semakin mengkhawatirkan jika pertumbuhan penduduknya tidak dikontrol. Wilayah yang semakin sempit, sumber daya alam yang semakin terbatas akan menciptakan kelangkaan (scarcity). Begitu pula dengan Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara industri memerlukan usia produktif untuk menopang roda perekonomian. Sumber daya manusia sangat penting bagi setiap negara untuk mendukung upaya pembangunan infrastrukur dan ekonomi. Jika negara dihadapkan kondisi di mana  jarak antara jumlah usia produktif dan non-produktif sangat timpang, tentu berbahaya bagi negara. Negara akan membayar usia produktif, karena lanjut usia masih aktif bekerja meski dalam waktu yang tidak bertahan lama. Dan mungkin ini berakar dari kebudayaan kebanyakan negara-negara di Asia Timur, yang terpengaruh ajaran konfusianisme. Sehingga lebih mengutamakan nilai-nilai individual seperti semangat kerja yang tinggi, disiplin dan bekerja secara produktif namun tidak menghitung kosekuensi apabila tidak menikah atau menikah di usia tua atau menikah tapi memilih tidak memiliki anak.

Referensi:
Banister and Harbaugh. 1994.  China’s Family Planning Program: Inputs And Outcomes,
Du, Yang and Wang, Melyan. 2011. Population Ageing, Domestic Consumption, and Future Economic Growth in China pp 301-314 in in Ligang Song and Jane Gooley (eds). Rising China: Global Challenges and Opportunities. Canberra: ANU E Press.
Hewitt, Paul S. 2007. The Grey Roots of Japan’s Crisis dalam The Demographic Dilemma: Japan’s Aging Society. Woodrow Wilson International Center.
Howe, Neil, et al. 2007. The Aging of Korea: Demographics and Retirement Policy in the Land of the Morning Calm. Washington: CSIS.