by Achmad Romadon Mubarok
Tiongkok
kini dikenal sebagai negara pemilik kekuatan ekonomi terbesar di dunia, bahkan
sempat mengungguli Negeri Paman Sam. Kontribusi perekonomian Tiongkok terhadap
pertumbuhan ekonomi global cukup besar. Hal ini dikarenakan situasi politik dan
kebijakan oleh elit pemerintah yang dinilai berhasil mengubah wajah Tiongkok
menjadi new emerging forces. Perlu
diketahui selama Perang Dingin, fokus kebijakan politik Tiongkok masih terletak
pada bagaimana peran sertanya menjaga stabilitas politik dan keamanan di kawasan
Asia Timur (Kompas, 2006). Wajar saja, adu kekuatan antara dua negara pada
waktu itu yang melibatkan Uni Sovyet dengan Amerika Serikat masih menjadi
masalah utama ketidakstabilan di kawasan Asia Timur. Posisi Tiongkok pada saat
Perang Dingin memang sudah diperhitungkan bagi negara-negara hegemon seperti
Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Terbaginya dunia ke dalam dua blok, yaitu Blok
Barat dan Blok Timur lantas tidak begitu saja mengubah fokus kebijakan dalam
negeri Tiongkok soal perekonomian domestik. Tiongkok pada awal abad ke-21
selalu masuk negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik dunia, mengungguli
negara sekaliber Amerika Serikat. Kebangkitan Tiongkok dari segi ekonomi adalah
suatu hal yang menarik untuk dibahas.
Jika
melihat ke fakta sejarah, Tiongkok pasca meraih kemerdekaan tidak secara
otomatis menjadi negara yang maju,
Tiongkok membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berproses untuk mewujudkan
Tiongkok yang semakin sejahtera. Kebijakan para elit politik Pemerintah
Tiongkok menjadi salah satu perhatian utama keberhasilan di balik kebangkitan
ekonomi Tiongkok. Titik balik yang
menandai kebangkitan Tiongkok adalah pasca Perang Dingin tepatnya pada tahun
1990-an sampai sekarang. Sebelumnya, pada tahun 1978, Tiongkok sempat melakukan
reformasi ekonomi. Sejak berkuasanya
Partai Komunis Tiongkok, ternyata sejumlah elit partai telah mengisyaratkan
adanya niat untuk menjadikan Tiongkok kuat secara ekonomi. Hanya saja di tengah
kebijakannya muncul dua aliran politik yang menekankan ideologi komunis di atas
perkembangan ekonomi yakni Mao Zedong dan antek-anteknya (Kompas, 2006).
Pertarungan dua kubu tersebut, dalam realita kehidupan masyarakat Tiongkok
selalu melahirkan gejolak dan kompetisi sengit yang pada saat itu masih suasana
Perang Dingin. Hasilnya, pada tahun 1959, 1960 dan 1961, Tiongkok dipermalukan
secara internasional. Tiongkok mengalami kegagalan produksi pada sektor agraria
yaitu pertanian, sedangkan pertanian merupakan komoditas unggulan Tiongkok.
Sebelum tahun 1960, basis ekonomi Tiongkok adalah pertanian. Pasca gagalnya
pencapaian produksi pertanian, akhirnya para petani di Tiongkok dibebaskan
memproduksi sendiri komoditas yang dikehendaki (Kompas, 2006).
Situasi
perekonomian yang sempat kacau, pada tahun 1978 mengalami pemulihan sejak
dilakukannya konsolidasi politik di bawah komando Deng Xiaoping, salah satu
pemimpin Tiongkok yang masih memiliki pengaruh yang sangat kuat saat itu. Pada
tahun yang sama, pemimpin revolusi Deng Xiaoping mereformasi kebijakan ekonomi
Tiongkok yang semula berorientasi pada ideologi komunis, kemudian Ia ubah
menjadi pengembangan ekonomi yang lebih masif (Kompas, 2006). Salah satu
kebijakan ekonomi Deng Xiaoping ialah mereformasi sektor pertanian, dan dapat
dirasakan oleh masyarakat Tiongkok sebagai suatu keberhasilan menjaga
stabilitas ekonomi-politik Tiongkok, yang mana tingkat pertumbuhan ekonomi
suatu negara sangat dipengaruhi oleh stabilitas politik dan kemanan negara itu
sendiri. Keberhasilan Deng Xiaoping melakukan konsolidasi politik disambut
positif oleh pasar domestik Tiongkok. Dengan mengembalikan kepada individu soal
menjalankan mekanisme pasar, Pemerintah Tiongkok dinilai mampu menstimulasi
rakyatnya. Alhasil, hasil pertanian bebas dijual dan pemerintah mengambil
bagian tertentu dari hasil produksti tani tersebut.
Pemerintah
Tiongkok secara progresif melatih masyarakat untuk mandiri melalui jiwa
kewirausahawan. Kegagalan ekonomi yang sempat dialami Tiongkok sebelum tahun
1978 memang diakibatkan oleh intervensi politik yang terlalu dalam pada setiap
perumusan kebijakan ekonomi Tiongkok (Kompas, 2006). Kecermatan elit politik
seperti Deng Xiaoping menjadi titik cerah perekonomian Tiongkok semakin
bergairah. Pemerintah Tiongkok secara ekspansif mengirim ratusan ribu warganya
ke Amerika Serikat untuk memperdalam perekonomian pasar. Pasca reformasi
ekonomi tahun 1978, Tiongkok mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat,
perdagangan di sektor pertanian mengalami surplus, seementara itu Tiongkok
mulai memberanikan diri menerapkan model pasar liberal. Melihat kemajuan
ekonomi Tiongkok yang positif, Perdana Menteri Tiongkok, Wen Jiabao tahun 2004 berujar
kita menjadi negara yang punya reputasi internasional setelah lama tenggelam
dari panggung.
Keputusan
Partai Komunis Tiongkok menerapkan prinsip pasar bebas pada tahun 1978 dan
mulai membuka dirinya terhadap investasi asing tahun 1980-an dianggap sebagai
salah satu faktor yang melatarbelakangi kemajuan Tiongkok sekarang sebagai
salah satu pusat manufaktur terbesar di dunia. Arus investasi asing langsung
yang meningkat ke Tiongkok, terutama di wilayah Tiongkok bagian timur mendorong
menjamurnya industri-industri manufaktur di Tiongkok ditambah biaya upah
pekerja Tiongkok yang murah, semakin membuat para investor asing nyaman
menanamkan modalnya. Menurut data BBC Indonesia (2015) rata-rata pertumbuhan
ekonomi Tiongkok selama tiga dekade terakhir hingga tahun 2010 mencapai 10
persen, walau kemudian pertumbuhan itu melambat belakangan ini. Meski posisi
kekuatan ekonomi Tiongkok berada di bawah Amerika Serikat, setidaknya Negeri
Tirai Bambu tersebut mampu melaju di atas perekonomian negara-negara di Eropa
dan Asia Timur khususnya Jepang dan Korea Selatan. Di samping upaya pemerintah
Tiongkok meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi, pada abad ke-21 peran
keanggotaan Tiongkok pada organisasi dan forum-forum level internasional
mengalami peningkatan secara dramatis dalam periode pos-Maois dan menjadi
anggota yang konstruktif, seperti keterlibatannya pada organisasi APEC, BRISC,
G-2, G-7, G-20 dan ASEAN+ (Golley & Song, 2011). Menurut Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat era Presiden Bush, Condoleezza Rice, Tiongkok tidak
sedang berada di status quo, Tiongkok
memainkan peran keanggotaan dalam organisasi internasional yang semakin
konstruktif dan penuh tangungjawab (Johnston, 2003).
Kebangkitan
Tiongkok sejak 1978 ditandai oleh dominasi kecenderungan konvergen, secara
jelas ditunjukkan Tiongkok yang berkeinginan saat ini meyakinkan dunia bahwa Ia
adalah sebuah kekuatan yang bertanggungjawab. Kecenderungan divergen pada
saatnya nanti akan mendominasi ketika Tiongkok bertambah kaya, percaya diri dan
kuat. Tetapi semua itu merupakan target masa depan, sekitar dua puluh tahun ke
depan atau lebih, seiring dengan berlanjutnya modernisasi Tiongkok, pada
dasarnya Tiongkok adalah kekuatan status
quo (Jacques, 2009: 482). Jika Johnston berbicara mengenai tingkat
partisipasi Tiongkok terhadap institusi internasional, selanjutnya Johnston
(2003: 12) menjelaskan derajat kepatuhan terhadap norma-norma internasuonal,
Johnston menemukan indikator kepatuhan yang terdiri lima utama rezim normatif
internasional dari Negeri Tirai Bambu. Peningkatan partisipasi Tiongkok pada
institusi internasional, namun bukan berarti bisa menjadi indikator kuat dari
perilaku status quo. Kelima antara
lain (1) kedaulatan, Tiongkok hari ini adalah salah satu negara yang
mempertahan konsep absolutis yang lebih tradisional, pada umumnya digunakan
untuk menegaskan kembali kedaulatan dan otonomi internal merespon berkembangnya
konsep HAM, pemerintahan domestik dan konsep intervensi kemanusiaan (humanatarian intervention) yang mana
didorong oleh beberapa negara pengususng demokrasi-liberal, IGOs serta aktivitas masyarakat sipil
internasional (Johnston, 2003).
Kedua
adalah perdagangan bebas, sejak tahun 1980-an Tiongkok memang mulai membuka
diri terhadap investasi asing dan meninggalkan konsep ekonomi Maois yang
memproteksi perekonomian Tiongkok sangat kuat sebelum reformasi ekonomi. Bukti
dukungan Tiongkok ialah menerapkan norma perdagangan bebas, namun memang cukup
sulit terealisasi akibat tertabrak dengan sistem ekonomi Tiongkok yang masih
Maois (komunis). Secara konkret, tarif rata-rata Tiongkok menurun lebih dari 40
persen di tahun 1992 menjadi kurang dari 20 persen pada tahun 1997. Ketiga, non-proliferasi
dan kontrol senjata, yang mana pada tahun 1990-an Tiongkok kehilangan banyak
senjata pasca Perang Dingin. Keempat, penentuan nasib sendiri (national self-determination), Tiongkok
dituduh melakukan pelanggaran terhadap norma kepatuhan tersebut, terbukti
konsistensi serta penolakan Beijing mengakui penentuan nasib sendiri di wilayah
Tibet, Uighur dan Taiwan. Indikator kepatuhan yang kelima adalah HAM,
Pemerintah Tiongkok dikenal keras terhadap aktivis atau lemabaga yang menyuarakan
HAM di dalam negerinya, tak jarang pemerintah memenjarakan masyarakat sipil
yang berani menentang pemerintah dengan alasan pelanggaran HAM. Pemerintah
Tiongkok menganggap prinsip-prinsip HAM menghambat negaranya untuk berkembang
(Johnston, 2003).
Kesimpulan
dari pokok bahasan terkait kebangkitan Tiongkok adalah dapat ditemukan garis
besarnya bahwa negara-negara di Asia Timur seperti Tiongkok, Korea Selatan dan
Jepang pada awal sampai pertengahan abad ke-20 posisinya tidak begitu
diperhatikan, secara drastis di penghujung abad ke-20 negara-negara tersebut
tumbuh menjadi negara kaya dan unggul secara kekuatan ekonomi serta memiliki
pengaruh penting terhadap dunia internasional di bidang ekonomi. Tiongkok
sendiri menjadi salah satu negara pemilik kekuatan ekonomi terbesar di dunia
tidak dapat hidup sendiri. Terbukti dari interaksi Tiongkok terhadap berbagai
negara di dunia, Ia membutuhkan peran masyarakat internasional dan investor
asing agar stabilitas ekonomi Tiongkok tetap terjaga dan harapan perekonomiannya
semakin maju dan berkembang dapat terealisasikan. Mengenai status quo yang dimiliki Tiongkok, karena prestasi pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang membanggakan, menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran
bagi negara kapitalis yang sudah berpuluh-puluh tahun berbeda secara prinsip
dan ideologi. Kelompok negara-negara maju yang kapitalis mengkhawatirkan
Tiongkok menggeser posisi mereka yang status
quo sebagai penguasa ekonomi yang penting dan berpengaruh kuat erhadap
perekonomia global. Diambil dari sisi positifnya, mengutip pernyataan tokoh Ann
Wan Seng, kemunculan dan kehadiran Tiongkok sebagai elemen ekonomi Asia penting
untuk mewujudkan keseimbangan agar tidak ada pihak-pihak dan blok yang
memonopoli secara unilateral kegiatan ekonomi dunia.
Referensi:
BBC Indonesia. 2015. Pertumbuhan Pesat Ekonomi Cina dalam Angka. Diakses
[Online] pada 02 Mei 2017. www.bbcindonesia.com/majalah/2015/09/150910_majalah_ekonomi_cina.
Golley, Jane & Song, Ligang. 2011. China’s Rise in Changing World: Global
Challenges and Opportunities. Canberra: ANU Press.
Jacques, Martin. 2009. When China Rules the World: Kebangkitan
Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Jakarta: Kompas Gramedia.
Johnston, Alastair Ian. 2003. Is China a Status Quo Power? in International Security, vol. 27, no. 4,
pp. 4-56.
Kompas. 2006. Cermin dari China: Geliat Sang Naga di Era Globalisasi. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
0 komentar:
Posting Komentar