• LinkedIn

Rabu, 22 Januari 2020

Kebangkitan Tiongkok: Kekuatan Baru Ekonomi Dunia Abad Ke-21 dari Dunia Timur

20.52 // by KIBcentre // No comments


by Achmad Romadon Mubarok

Tiongkok kini dikenal sebagai negara pemilik kekuatan ekonomi terbesar di dunia, bahkan sempat mengungguli Negeri Paman Sam. Kontribusi perekonomian Tiongkok terhadap pertumbuhan ekonomi global cukup besar. Hal ini dikarenakan situasi politik dan kebijakan oleh elit pemerintah yang dinilai berhasil mengubah wajah Tiongkok menjadi new emerging forces. Perlu diketahui selama Perang Dingin, fokus kebijakan politik Tiongkok masih terletak pada bagaimana peran sertanya menjaga stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Timur (Kompas, 2006). Wajar saja, adu kekuatan antara dua negara pada waktu itu yang melibatkan Uni Sovyet dengan Amerika Serikat masih menjadi masalah utama ketidakstabilan di kawasan Asia Timur. Posisi Tiongkok pada saat Perang Dingin memang sudah diperhitungkan bagi negara-negara hegemon seperti Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Terbaginya dunia ke dalam dua blok, yaitu Blok Barat dan Blok Timur lantas tidak begitu saja mengubah fokus kebijakan dalam negeri Tiongkok soal perekonomian domestik. Tiongkok pada awal abad ke-21 selalu masuk negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik dunia, mengungguli negara sekaliber Amerika Serikat. Kebangkitan Tiongkok dari segi ekonomi adalah suatu hal yang menarik untuk dibahas.

Jika melihat ke fakta sejarah, Tiongkok pasca meraih kemerdekaan tidak secara otomatis  menjadi negara yang maju, Tiongkok membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berproses untuk mewujudkan Tiongkok yang semakin sejahtera. Kebijakan para elit politik Pemerintah Tiongkok menjadi salah satu perhatian utama keberhasilan di balik kebangkitan ekonomi Tiongkok. Titik balik yang menandai kebangkitan Tiongkok adalah pasca Perang Dingin tepatnya pada tahun 1990-an sampai sekarang. Sebelumnya, pada tahun 1978, Tiongkok sempat melakukan reformasi ekonomi. Sejak berkuasanya Partai Komunis Tiongkok, ternyata sejumlah elit partai telah mengisyaratkan adanya niat untuk menjadikan Tiongkok kuat secara ekonomi. Hanya saja di tengah kebijakannya muncul dua aliran politik yang menekankan ideologi komunis di atas perkembangan ekonomi yakni Mao Zedong dan antek-anteknya (Kompas, 2006). Pertarungan dua kubu tersebut, dalam realita kehidupan masyarakat Tiongkok selalu melahirkan gejolak dan kompetisi sengit yang pada saat itu masih suasana Perang Dingin. Hasilnya, pada tahun 1959, 1960 dan 1961, Tiongkok dipermalukan secara internasional. Tiongkok mengalami kegagalan produksi pada sektor agraria yaitu pertanian, sedangkan pertanian merupakan komoditas unggulan Tiongkok. Sebelum tahun 1960, basis ekonomi Tiongkok adalah pertanian. Pasca gagalnya pencapaian produksi pertanian, akhirnya para petani di Tiongkok dibebaskan memproduksi sendiri komoditas yang dikehendaki (Kompas, 2006).

Situasi perekonomian yang sempat kacau, pada tahun 1978 mengalami pemulihan sejak dilakukannya konsolidasi politik di bawah komando Deng Xiaoping, salah satu pemimpin Tiongkok yang masih memiliki pengaruh yang sangat kuat saat itu. Pada tahun yang sama, pemimpin revolusi Deng Xiaoping mereformasi kebijakan ekonomi Tiongkok yang semula berorientasi pada ideologi komunis, kemudian Ia ubah menjadi pengembangan ekonomi yang lebih masif (Kompas, 2006). Salah satu kebijakan ekonomi Deng Xiaoping ialah mereformasi sektor pertanian, dan dapat dirasakan oleh masyarakat Tiongkok sebagai suatu keberhasilan menjaga stabilitas ekonomi-politik Tiongkok, yang mana tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi oleh stabilitas politik dan kemanan negara itu sendiri. Keberhasilan Deng Xiaoping melakukan konsolidasi politik disambut positif oleh pasar domestik Tiongkok. Dengan mengembalikan kepada individu soal menjalankan mekanisme pasar, Pemerintah Tiongkok dinilai mampu menstimulasi rakyatnya. Alhasil, hasil pertanian bebas dijual dan pemerintah mengambil bagian tertentu dari hasil produksti tani tersebut.

Pemerintah Tiongkok secara progresif melatih masyarakat untuk mandiri melalui jiwa kewirausahawan. Kegagalan ekonomi yang sempat dialami Tiongkok sebelum tahun 1978 memang diakibatkan oleh intervensi politik yang terlalu dalam pada setiap perumusan kebijakan ekonomi Tiongkok (Kompas, 2006). Kecermatan elit politik seperti Deng Xiaoping menjadi titik cerah perekonomian Tiongkok semakin bergairah. Pemerintah Tiongkok secara ekspansif mengirim ratusan ribu warganya ke Amerika Serikat untuk memperdalam perekonomian pasar. Pasca reformasi ekonomi tahun 1978, Tiongkok mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat, perdagangan di sektor pertanian mengalami surplus, seementara itu Tiongkok mulai memberanikan diri menerapkan model pasar liberal. Melihat kemajuan ekonomi Tiongkok yang positif, Perdana Menteri Tiongkok, Wen Jiabao tahun 2004 berujar kita menjadi negara yang punya reputasi internasional setelah lama tenggelam dari panggung.

Keputusan Partai Komunis Tiongkok menerapkan prinsip pasar bebas pada tahun 1978 dan mulai membuka dirinya terhadap investasi asing tahun 1980-an dianggap sebagai salah satu faktor yang melatarbelakangi kemajuan Tiongkok sekarang sebagai salah satu pusat manufaktur terbesar di dunia. Arus investasi asing langsung yang meningkat ke Tiongkok, terutama di wilayah Tiongkok bagian timur mendorong menjamurnya industri-industri manufaktur di Tiongkok ditambah biaya upah pekerja Tiongkok yang murah, semakin membuat para investor asing nyaman menanamkan modalnya. Menurut data BBC Indonesia (2015) rata-rata pertumbuhan ekonomi Tiongkok selama tiga dekade terakhir hingga tahun 2010 mencapai 10 persen, walau kemudian pertumbuhan itu melambat belakangan ini. Meski posisi kekuatan ekonomi Tiongkok berada di bawah Amerika Serikat, setidaknya Negeri Tirai Bambu tersebut mampu melaju di atas perekonomian negara-negara di Eropa dan Asia Timur khususnya Jepang dan Korea Selatan. Di samping upaya pemerintah Tiongkok meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi, pada abad ke-21 peran keanggotaan Tiongkok pada organisasi dan forum-forum level internasional mengalami peningkatan secara dramatis dalam periode pos-Maois dan menjadi anggota yang konstruktif, seperti keterlibatannya pada organisasi APEC, BRISC, G-2, G-7, G-20 dan ASEAN+ (Golley & Song, 2011). Menurut Menteri Luar Negeri Amerika Serikat era Presiden Bush, Condoleezza Rice, Tiongkok tidak sedang berada di status quo, Tiongkok memainkan peran keanggotaan dalam organisasi internasional yang semakin konstruktif dan penuh tangungjawab (Johnston, 2003).

Kebangkitan Tiongkok sejak 1978 ditandai oleh dominasi kecenderungan konvergen, secara jelas ditunjukkan Tiongkok yang berkeinginan saat ini meyakinkan dunia bahwa Ia adalah sebuah kekuatan yang bertanggungjawab. Kecenderungan divergen pada saatnya nanti akan mendominasi ketika Tiongkok bertambah kaya, percaya diri dan kuat. Tetapi semua itu merupakan target masa depan, sekitar dua puluh tahun ke depan atau lebih, seiring dengan berlanjutnya modernisasi Tiongkok, pada dasarnya Tiongkok adalah kekuatan status quo (Jacques, 2009: 482). Jika Johnston berbicara mengenai tingkat partisipasi Tiongkok terhadap institusi internasional, selanjutnya Johnston (2003: 12) menjelaskan derajat kepatuhan terhadap norma-norma internasuonal, Johnston menemukan indikator kepatuhan yang terdiri lima utama rezim normatif internasional dari Negeri Tirai Bambu. Peningkatan partisipasi Tiongkok pada institusi internasional, namun bukan berarti bisa menjadi indikator kuat dari perilaku status quo. Kelima antara lain (1) kedaulatan, Tiongkok hari ini adalah salah satu negara yang mempertahan konsep absolutis yang lebih tradisional, pada umumnya digunakan untuk menegaskan kembali kedaulatan dan otonomi internal merespon berkembangnya konsep HAM, pemerintahan domestik dan konsep intervensi kemanusiaan (humanatarian intervention) yang mana didorong oleh beberapa negara pengususng demokrasi-liberal, IGOs serta aktivitas masyarakat sipil internasional (Johnston, 2003).

Kedua adalah perdagangan bebas, sejak tahun 1980-an Tiongkok memang mulai membuka diri terhadap investasi asing dan meninggalkan konsep ekonomi Maois yang memproteksi perekonomian Tiongkok sangat kuat sebelum reformasi ekonomi. Bukti dukungan Tiongkok ialah menerapkan norma perdagangan bebas, namun memang cukup sulit terealisasi akibat tertabrak dengan sistem ekonomi Tiongkok yang masih Maois (komunis). Secara konkret, tarif rata-rata Tiongkok menurun lebih dari 40 persen di tahun 1992 menjadi kurang dari 20 persen pada tahun 1997. Ketiga, non-proliferasi dan kontrol senjata, yang mana pada tahun 1990-an Tiongkok kehilangan banyak senjata pasca Perang Dingin. Keempat, penentuan nasib sendiri (national self-determination), Tiongkok dituduh melakukan pelanggaran terhadap norma kepatuhan tersebut, terbukti konsistensi serta penolakan Beijing mengakui penentuan nasib sendiri di wilayah Tibet, Uighur dan Taiwan. Indikator kepatuhan yang kelima adalah HAM, Pemerintah Tiongkok dikenal keras terhadap aktivis atau lemabaga yang menyuarakan HAM di dalam negerinya, tak jarang pemerintah memenjarakan masyarakat sipil yang berani menentang pemerintah dengan alasan pelanggaran HAM. Pemerintah Tiongkok menganggap prinsip-prinsip HAM menghambat negaranya untuk berkembang (Johnston, 2003).

Kesimpulan dari pokok bahasan terkait kebangkitan Tiongkok adalah dapat ditemukan garis besarnya bahwa negara-negara di Asia Timur seperti Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang pada awal sampai pertengahan abad ke-20 posisinya tidak begitu diperhatikan, secara drastis di penghujung abad ke-20 negara-negara tersebut tumbuh menjadi negara kaya dan unggul secara kekuatan ekonomi serta memiliki pengaruh penting terhadap dunia internasional di bidang ekonomi. Tiongkok sendiri menjadi salah satu negara pemilik kekuatan ekonomi terbesar di dunia tidak dapat hidup sendiri. Terbukti dari interaksi Tiongkok terhadap berbagai negara di dunia, Ia membutuhkan peran masyarakat internasional dan investor asing agar stabilitas ekonomi Tiongkok tetap terjaga dan harapan perekonomiannya semakin maju dan berkembang dapat terealisasikan. Mengenai status quo yang dimiliki Tiongkok, karena prestasi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang membanggakan, menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran bagi negara kapitalis yang sudah berpuluh-puluh tahun berbeda secara prinsip dan ideologi. Kelompok negara-negara maju yang kapitalis mengkhawatirkan Tiongkok menggeser posisi mereka yang status quo sebagai penguasa ekonomi yang penting dan berpengaruh kuat erhadap perekonomia global. Diambil dari sisi positifnya, mengutip pernyataan tokoh Ann Wan Seng, kemunculan dan kehadiran Tiongkok sebagai elemen ekonomi Asia penting untuk mewujudkan keseimbangan agar tidak ada pihak-pihak dan blok yang memonopoli secara unilateral kegiatan ekonomi dunia.

Referensi:
BBC Indonesia. 2015. Pertumbuhan Pesat Ekonomi Cina dalam Angka. Diakses [Online] pada 02 Mei 2017. www.bbcindonesia.com/majalah/2015/09/150910_majalah_ekonomi_cina.
Golley, Jane & Song, Ligang. 2011. China’s Rise in Changing World: Global Challenges and Opportunities. Canberra: ANU Press.
Jacques, Martin. 2009. When China Rules the World: Kebangkitan Dunia Timur dan Akhir Dunia Barat. Jakarta: Kompas Gramedia.
Johnston, Alastair Ian. 2003. Is China a Status Quo Power? in International Security, vol. 27, no. 4, pp. 4-56.
Kompas. 2006. Cermin dari China: Geliat Sang Naga di Era Globalisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

0 komentar:

Posting Komentar