by Achmad Romadon Mubarok
Diplomasi
kini tidak serta merta selalu diselesaikan melalui instrumen politik maupun
ekonomi untuk menghalau pecahnya peperangan. Seperti gagasan yang pernah
diungkapkan oleh Diamond dan Mc Donald pada tahun 1996 terkait diplomasi,
mereka berdua mengungkapkan beberapa cara
atau konsep untuk melihat proses pembentukan perdamaian internasional
sebagai bagian dari sebuah sistem kehidupan yang disebut multi-track diplomacy. Salah satu dari multi-track diplomacy adalah diplomasi kebudayaan, menarik di era
kontemporer ini diplomasi yang mengerahkan dimensi kebudayaan seperti
pendidikan, seni, budaya, dan sebagainya yang mana digunakan oleh beberapa
negara dunia dalam mempromosikan nilai-nilai perdamaian. Menurut Warsito dan
Kartikasari dalam bukunya yang berjudul “Diplomasi Kebudayaan: Konsep dan
Relevansi bagi Negara Berkembang, Studi Kasus Indonesia” (2007: 4), diplomasi
budaya dipahami melalui pengertian yang definitif, dapat diartikan sebagai
usaha suatu negara untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui dimensi
kebudayaan, baik secara mikro, seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, olahraga,
dan kesenian ataupun secara makro, seperti propaganda. Tulisan kali ini
mengangkat penggunaan diplomasi kebudayaan yang digunakan oleh Pemerintah Korea
sekaligus sebagai alat diplomasi untuk memperbaiki reputasi negara tersebut.
Sejak
tahun 1980-an, Asia Timur telah mengalami ledakan produksi budaya yang populer
seperti film, pop music, animasi, komik, program televisi, dan majalah fesyen
yang mana telah meluas, tidak hany secar domestik melainkan lintas negara
bahkan lintas regional (Otmazgin & Ben-Ari, 2011: 3). Korea Selatan,
merupakan salah satu negara di Asia, di mana pertumbuhan industri budaya sangat
berkembang pesat. Salah satu demam budaya Korea yang melanda dunia ialah Korean wave. Korean wave atau dalam istilah lain dikenal sebagai Hallyu, sebuah
sitilah yang disematkan oleh jurnalis Tiongkok tahun 1990-an, di mana industri
hiburan Korea Selatan seperti pop korea populer di kalangan pemuda Tiongkok.
Akibatnya, timbul-lah cultural exchange yang
mana Hallyu memicu masyarakat Tiongkok mempelajari bahasa Korea dan termasuk
kebudayaannya. Korea Selatan memang sejak lama dikenal tipikal masyarakatnya
sangat menjaga nilai tradisi dan kebudayaan leluhur, sehingga tak heran jika
masyarakat Korea sangat bangga dengan apa yang ia kenakan, ia katakan dan ia
makan (kebudayaan Korea).
Karakter
yang kuat pada jati diri masyarakat Korea sebagai pemicu menguatnya nation-building Korea, yang mendorong
meningkatnya industri hiburan di Negeri Gingseng tersebut. Alhasil, industri
yang memfasilitasi pop Korea dan drama Korea memperoleh popularitas yang tinggi
di industri hiburan Asia. Prestasi seni yang menggembirakan bagi Korea Selatan,
ketika drama Korea yang berjudul What is
Love All tayang di stasiun televisi Tiongkok (CCTV) pada tahun 1997,
berhasil mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat Tiongkok (Kim
& Jin, 2016: 1). Sementara pada abad ke-21, Korean wave terus berkembang di berbagai negara, mulai dari aspek
gaya berpakaian, gaya penataan rambut hingga K-Pop, salah satu tarian asal
Korea Selatan adalah Gangnam Style yang sempat booming di seluruh dunia pada pertengahan tahun 2012 dan sempat
merajai Youtube, sebagai video yang paling banyak ditonton di dunia, tembus 1
milyar penonton. Melihat kedua fenomena Korean
wave yang berhasil membius warga dunia mengenal lebih dalam kebudayaan
Korea Selatan, hal tersebut telah
diprediksi oleh Joseph Nye dalam Jang (2012: 198), yang menjelaskan, salah satu
cara untuk melakukan soft power adalah
dengan cara cultural exchanges.
Cultural exchanges, menjadikan
soft power yang dimiliki oleh Korea
Selatan menimbulkan daya tarik tersendiri dari segi kebudayaan yang dimiliki,
termasuk Korean wave. Kelebihan dari cultural exchange selain dinikmati oleh
para pelaku bisnis industri hiburan Korea, Pemerintah Korea Selatan merasa
diuntungkan karena berhasil membendung budaya milik Barat dan memiliki pengaruh
kuat sebagai pemilik identitas Korean wave.
Pemerintah Korea sendiri optimis akan perkembangan pesat industri hiburan Korea
membuat negerinya akan semakin dikenal dunia, di samping prestasi ekonominya
yang membanggakan. Pemerintah Korea sepertinya menginginkan fenomena Korean wave tidak berlangsung sementara,
sebuah prestis bagi Korea apabila budayanya dikenal oleh banyak negara. Oleh
sebab itu, Pemerintah Korea melalui diplomasi kebudayaan maupun promo budaya
lewat perwakilan atau diaspora Korea di seluruh dunia, berusaha membangun citra
yang positif terhadap budaya Korea (nation-branding).
Dari segi ekonomis, Hallyu mendatangkan pundi-pundi Won bagi Korea. Contohnya
ketika drama Korea yang mewabah di kalangan remaja Asia, tempat-tempat yang
pernah digunakan syuting pun seperti Pulau Jeju, kini menjadi salah satu
destinasi wisata populer andalan Korea dan jutaan wisatawan mancanegara
mengunjungi Korea tiap tahunnya.
Optimistis
Pemerintah Korea terlihat dari dukungan pemerintah dan berkontribusi dalam
demam Hallyu. Pemerintah Korea sadar, dengan besarnya dukungan yang diberikan
kepada palaku industri hiburan maupun diplomasi kebudayaan yang dilakukan
secara formal oleh negara, hal ini dapat menjauhkan diri Korea dari terkena
dampak globalisasi yaitu westernisasi. Untuk
meredam gempuran industri entertainment dari Barat, Pemerintah Korea Selatan
membentuk KTO (Korean Tourism Organization) dan KOFIC (Korean Foundation for
International Cultural Exchange), sebuah organisasi khusus di bawah kendali
Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Republik Korea (MCST). Di sini,
Pemerintah Korea sangat berperan, pemerintah membentuk KOFIC bertujuan untuk
mempromosikan dan mendukung film-film
Korea, selain itu pemerintah juga memberikan stimulus terhadap industri hiburan
Korea dengan memberikan insentif dana, kebijakan, penelitian, pelatihan
profesional, dan pendidikan. Selain itu, Pemerintah Korea turut terlibat dalam nation-branding, seperti pernyataan
Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak yang menyesalkan persepsi masyarakat
internasional yang masih memandang Korea pada saat itu identik
demonstran-jalanan, perang dengan Korea Utara dan ketegangan dengan Tiongkok.
Korea Selatan merasa berhak mendapat respek dari dunia internasional. Oleh
karena itu, diperlukan sebuah nation-branding
lewat Korean wave, yang menurut
(Szondi, 2008) mampu merefleksikan sebuah negara (soft power) dibanding penggunaan instrumen militer atau ekonomi
dalam dunia internasional. Jika negara berhasil memperkuat nation-branding di mata internasional, dengan sendirinya negara
tersebut memperoleh respek dan penerimaan yang baik oleh dunia internasional.
Kesimpulan
dari tulisan kali ini menunjukkan bahwa pengaplikasian budaya sebagai instrumen
politik luar negeri oleh Korea ternyata mampu mepertegas eksistensi Korea
bahwasanya tidak benar adanya anggapan bahwa Korea sebagai negara konfrontatif,
penuh konflik. Persepsi masyarakat internasional ditepis oleh Pemerintah Korea
yang berhasil membangun nation-branding untuk
mewujudkan citra positif Korea di mata internasional. Salah satu cara diplomasi
yang berhasil diaplikasikan oleh Korea hingga kini adalah diplomasi kebudayaan.
Korea memilih menggunakan soft power
tanpa mengesampingkan hard power.
Melalui soft power, yang mana salah
satu elemennya adalah kebudayaan, Korea mengembangkan kesempatan untuk
memadukan kedua unsur antara budaya tradisional dan kontemporer, seperti yang
telah benayak diwujudkan pada film-film atau drama Korea, fesyen dan musik
(K-Pop). Ditambah dukungan Pemerintah Korea melalui kementerian terkait untuk
memberikan dukungan baik materil maupun inmateriil. Peluang potensi kebduayaan
yang dimiliki Korea nyatanya berkontribusi pada perkembangan ekonomi sekaligus
menaikkan citra positif Korea, di samping dikenal sebagai negara maju secara kemampuan
ekonomi juga maju secara kebudayaan, tidak kalah dengan pengaruh budaya Barat.
Referensi:
Gunjoo
Jang, W. K. 2012. Korean Wave as Tool for Korea's New Cultural Diplomacy.
Scientific Research Publishing, 196-202.
Kim,
tae Young & Jin, Dal Yong. 2016. Cultural
Policy in the Korean Wave: An Analysis
of Cultural Diplomacy Embedded in
Presidential Speeches. Canada: Simon Fraser University.
Otmazgin,
Nissin & Ben-Ari, Eyal. 2011. Cultural
Industries and the State in East and Southeast Asia dalam Popular Culture and the State in East and
Southeast Asia. New York: Routledge.
Tulus
Warsito dan Wahyuni Kartikasari. 2007. Diplomasi
Kebudayaan: Konsep dan Relevansi bagi Negara Berkembang, Studi Kasus Indonesia.
Yogyakarta: Ombak. hal. 4.
0 komentar:
Posting Komentar