• LinkedIn

Rabu, 22 Januari 2020

Ledakan Populasi dan Rendahnya Tingkat Fertilitas: Dua Masalah Utama Kependudukan di Tiga Negara Kawasan Asia Timur

20.54 // by KIBcentre // No comments







by Achmad Romadon Mubarok

Kawasan Asia Timur menyimpan permasalahan soal demografi kependudukan. Bila Tiongkok yang populer dengan One Child Policy, akibat ledakan populasi yang dianggap mengancam keberlangsungan ekonomi, lain hal dengan Jepang dan Korea Selatan yang sedang menghadapi situasi meningkatnya grey population. Permaslahan tersebut mendatangkan pekerjaan besar di masa depan bagi ketiga negara, tidak mungkin negara ditopang oleh kalangan yang berusia non-produktif, dan bahaya jika negara tidak bisa mengontrol laju pertumbuhan penduduk. Mungkin untuk Jepang dan Korea Selatan pengaruh kuat dari ideologi konfusianisme, yang menjunjung tinggi kerja keras, etos kerja dan sangat produktif dalam bekerja masih melekat sebagai bagian dari budaya masyarakat, sehingga abai untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dan seolah-olah menikah kemudian memiliki anak merupakan kedua hal yang menghambat dalam mengembangkan diri khususnya soal pekerjaan. Kali ini akan dimulai dari Tiongkok, terutama menyoroti soal pemberlakuan One Child Policy dan Two-Child Policy. Tiongkok mulai menerapkan kebijakan One Child Policy pada tahun 1979, dan diberlakukan secara mengikat (mandatory) terhadap rakyat Tiongkok yang mana memperbolehkan setiap pasangan hanya memiliki satu anak, jika ketauahan melanggar akan mendapat sanksi tegas berupa pendindakan secar hukum oleh pemerintah.

Alasan utama mengapa Tiongkok menerapkan One Child Policy merupakan upaya pemerintah menekan laju pertumbuhan penduduk dan mencegah terjadinya ledakan penduduk. Presiden Deng Xiaoping khawatir pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak mampu menahan ledakan populasi yang terjadi, oleh karena itu diterapkanlah One Child Policy yang mewajibkan satu keluarga hanya memiliki satu anak. Pemerintah Tiongkok turut mengatur secara rinci mulai dari masa perkawinan, usia pernikahan, waktu kehamilan, metode pengendalian kehamilan (Keluarga Berencana), jarak kelahiran setiap bayi, sampai jumlah angka kelahiran secara nasional semua diatur oleh pemerintah dengan ekstra ketat. Tak aneh jika dampak dari kebijakan ini mendatangkan praktek aborsi ilegal yang angkanya sangat fantastis. Terlepas dari kontroversi penerapan kebijakan satu anak ala Tiongkok yang dianggap melanggar HAM, kebijakan Tiongkok medatangkan kemajuan (Banister & Harbaugh, 1994).

Menurut laporan United Nations Population Division-BBC pada tahun 2015 menyebutkan, sejak diterapkannya One Child Policy, Tiongkok dianggap berhasil mencegah angka kelahiran hingga mencapai 400 juta jiwa, namun yang dikhawatirkan adalah struktur demografi Tiongkok yang semakin didominasi oleh usia non-produktif alias kelompok usia tua. Kondisi yang dialami Tiongkok selama menerapkan One Child Policy disebut ageing population (Du & Wang, 2011). Kondisi semacam ini semakin mengkhawatirkan masa depan Tiongkok, jika jumlah usia produktif lebih kecil dibanding usia non-produktif artinya negara lebih fokus ke pembiayaan atau merawat usia non-produktif. Pada tanggal 29 Oktober 2015, Partai Komunis Tiongkok mengumumkan pemerintah mengubah kebijakan dari semula One Child Policy kini diperbolehkan memiliki dua anak di setiap keluarga (two-child policy). Kebijakan Two-Child Policy sekaligus menjadi penanda akhir 35 tahun rakyat Tiongkok hidup di aturan pemerintah yang sangat ketat, One Child Policy. Two-Child Policy diberlakukan secara efektif di bawah kepemimpinan Presiden Xi-Jinping mulai 1 Januari 2016 di seluruh Tiongkok.

Pasca Pemerintah Tiongkok mengumumkan kebijakan barunya yang memperbolehkan setiap keluarga memiliki dua anak, dampak pertama yang dirasakan oleh pemerintah adalah meningkatnya angka kelahiran di tahun 2016. Menurut data dari CNN tahun 2017, jumlah kelahiran bayi di Tiongkok pada tahun 2016 meingkat tajam di angka 7,9 persen dari tahun sebelumnya. CNN menambahkan, total 17,86 juta bayi lahir sepanjang tahun 2016. Namun kebijakan baru Tiongkok ini, memaksa Tiongkok untuk bersabar menunggu tumbuhnya usia produktif atau angkatan kerja yang baru. Bayangkan selama 35 tahun, pertumbuhan penduduk Tiongkok sangat melambat dan didominasi oleh usia yang tidak produktif lagi, tidak mungkin dengan cepatnya mampu merestrukturisasi perekonomian Tiongkok. Pemerintah Tiongkok tetap berharap melalui kebijakan baru ini, roda ekonomi berjalan efektif pada beberapa tahun ke dapan, kesejahteraan masyarakat meningkat dengan memiliki dua anak dan industri di Tiongkok tetap normal karena masih tersedeianya usia angkatan kerja. Contohnya adalah industri susu formula dan popok bayi mengalami peningkatan permintaan di Tiongkok, pasca pemerintah mengubah kebijakan soal kependudukan, hal ini tentu membuka peluang dan lapangan kerja baru.

Selanjutnya adalah Jepang, negeri yang berjuluk Negeri Sakura ini memiliki kehebatan yang diakui internasional. Di sisi lain, Jepang kini menduduki pertingkat tertinggi negara dengan jumlah populasi usia non-produktif terbanyak di dunia. Rata-rata usia penduduk Jepang 46 tahun, dan seperempat komposisi penduduk Jepang didominasi oleh lanjut usia (ageing population). Artinya, perbandingan antara penduduk usia produktif dengan non-produktif cukup  tinggi, Jepang di sini mengalami efisit usia angkatan kerja. Bukan soal umur, melainkan penduduk yang masih produktif di usia muda. Salah satu faktor mengapa Jepang mengalami permasalahn demografi semacam ini adalah rendahnya angka pernikahan sehingga menyebabkan rendahnya angka kelahiran bayi di Jepang. Akibatnya, kemajuan yang dialami Jepang dinikmati oleh kaum lanjut usia, negara justru membayar usia produktif karena roda perekonomiannya didominasi oleh usia rata-rata 46. Kemudian realita Pemerintah Jepang yang menerima data bahwa jumlah angka pernikahan yang terus menurun dalam tiga tahun terakhir (2012-2015) mencapai 635.000 pernikahan saja dengan rata-rata usia nikah 31,1 tahun untuk pria dan 29,4 tahun untuk wanita.

Angka kematian juga menjadi perhatian dari Pemerintah Jepang, tingginya angka kematian tak diimbangi dengan tingginya angka kelahiran, bahkan pada tahun 2015 saja populasi Jepang menurun sebanyak 285.000 jiwa. Laporan dari CNN Indonesia menyebutkan populasi Jepang muali terlihat menurun sejak tahun 2010, di angka 128 juta jiwa, dan diperkirakan angka ini terus menurun di 108 juta jiwa tahun 2050 sampai 108 juta jiwa di tahun 2060. Penurunan ini akan terus terjadi jika angka kelahiran dan aktivitas imigrasi yang masif. Saat ini pemerintah Jepang tengah berupaya meluncurkan berbagai program yang mendukung untuk meningkatkan angka kelahiran seperti pemberian fasilitas child care dan insentif pajak guna mendorong wanita Jepang mau memiliki keturunan. Bagi Pemerintah Jepang, keberadaan jumlah usia produktif sangat berkontribusi bagi perekonomiannya. Sehingga negara tak lagi menanggung beban usia non-produktif, dan memperoleh jaminan keamanan terhadap stabilitas perekonomian Jepang (Hewitt, 2007). Korea Selatan mengalami permaslahan grey population di tahun 1970-an, yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ledakan populasi tahun 1960-an. Pemerintah Korea Selatan kemudian mengambil beberapa langkah di periode yang berbeda, tercatat pada tahun 1968 Korea Selatan mengeluarkan Three Child Policy, tahun 1971 diberlakukan Two Child Policy, dan yang terakhir pada tahun 1980-an diterapkan One or Two Child Policy (Howe et al, 2007). Namun respon yang diberikan pasca pemberlakuan kebijakan ini justru membuat angka fertilitas di Korea Selatan terus mengalami penurunan. Tercatat, tahun 2016 Korea Selatan memperoleh angka 1,1 rasio fertilitas dan menjadi angka rasio fertilitas terendah di dunia. Kondisi ini dikhawatirkan akan menambah beban negara yang mana kemudia hari akan banyak jumlah penduduk lanjut usia daripada penduduk produktif.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ledakan populasi menjadi perhatian penting bagi setiap negara, di mana ada ledakan populasi pasti akan menciptakan permasalahan sosial yang baru. Sebagai negara yang tumbuh menjadi New Industrial Countries (NICs), baik Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan mengalami permasalahan yang sama soal kependudukan. Tiongkok yang dikenal sebagai negara pemilik penduduk terbanyak di dunia, tembus di angka 1 milyar akan semakin mengkhawatirkan jika pertumbuhan penduduknya tidak dikontrol. Wilayah yang semakin sempit, sumber daya alam yang semakin terbatas akan menciptakan kelangkaan (scarcity). Begitu pula dengan Jepang dan Korea Selatan, sebagai negara industri memerlukan usia produktif untuk menopang roda perekonomian. Sumber daya manusia sangat penting bagi setiap negara untuk mendukung upaya pembangunan infrastrukur dan ekonomi. Jika negara dihadapkan kondisi di mana  jarak antara jumlah usia produktif dan non-produktif sangat timpang, tentu berbahaya bagi negara. Negara akan membayar usia produktif, karena lanjut usia masih aktif bekerja meski dalam waktu yang tidak bertahan lama. Dan mungkin ini berakar dari kebudayaan kebanyakan negara-negara di Asia Timur, yang terpengaruh ajaran konfusianisme. Sehingga lebih mengutamakan nilai-nilai individual seperti semangat kerja yang tinggi, disiplin dan bekerja secara produktif namun tidak menghitung kosekuensi apabila tidak menikah atau menikah di usia tua atau menikah tapi memilih tidak memiliki anak.

Referensi:
Banister and Harbaugh. 1994.  China’s Family Planning Program: Inputs And Outcomes,
Du, Yang and Wang, Melyan. 2011. Population Ageing, Domestic Consumption, and Future Economic Growth in China pp 301-314 in in Ligang Song and Jane Gooley (eds). Rising China: Global Challenges and Opportunities. Canberra: ANU E Press.
Hewitt, Paul S. 2007. The Grey Roots of Japan’s Crisis dalam The Demographic Dilemma: Japan’s Aging Society. Woodrow Wilson International Center.
Howe, Neil, et al. 2007. The Aging of Korea: Demographics and Retirement Policy in the Land of the Morning Calm. Washington: CSIS.

0 komentar:

Posting Komentar