by Achmad Romadon Mubarok
Ekonomi
adalah hal penting sebagai instrumen negara dalam rangka mensejahterahkan
rakyatnya. Negara-negara di kawasan Asia Timur kini tumbuh menjadi raksasa
ekonomi dunia baru. Sebut saja Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan, ketiga
negara tersebut kini menjadi negara industri yang berkembang pesat bahkan mampu
berekspansi ke berbagai negara. Cita-cita bangsa yang disampaikan petinggi
Partai Komunis Tiongkok yang berharap Tiongkok dapat menjadi negara ekonomi
yang kuat. Meski pasca Perang Dunia II, situasi dunia masih mencekam di tahun
1945-1960 akibat belum sepenuhnya pulih pergerakan sektor ekonominya. Tiongkok
pada tahun 1959-1960 mengalami kegagalan produksi beras sehingga memicu
terjadinya gejolak ekonomi di Negeri Tirai Bambu tersebut. Di Semenanjung Korea
pasca Perang Dunia II masih terjadi perang saudara antara Korea Utara dan Korea
Selatan. Belum lagi perekonomian Jepang porak-poranda akibat guncangan bom
nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, konsekuensi atas keterlibatan Jepang dalam
Perang Dunia II.
Salah
satu aspek menjadi keberhasilan Asia Timur mengalami peningkatan angka
pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat adalah melalui industrialisasi.
Pembangunan ekonomi menjadi pondasi kuat untuk memajukan negara masing-masing
di kawasan Asia Timur. Pasca Perang Dunia II adalah timing yang sangat tepat bagi negara-negara di Asia Timur untuk
memulihkan perekonomian dan menempatkannya sebagai prioritas utama. Tentunya
setiap negara-negara di Asia Timur mempunyai strategi untuk bisa tumbuh menjadi
New Industrial Countries (NICs).
Salah satu wujud keberhasilan negara-negara di Asia Timur bangkit dari
keterpurukan adalah Jepang. Negeri Sakura sebelumnya mengalami pergeseran dari
semula negara imperialis menjadi negara yang hancur dan pasifis (Hennida et al,
tt.). Tiga puluh tahun kemudian, perekonomian Jepang berkembang membanggakan,
bagaimana tidak, selama tiga dekade pasca PD II Jepang hadir dan memimpin
barisan negara-negara industri baru (NICs Asia). Salah satu prestasi Jepang
ialah arus modal asing (foreign direct investment)
yang mengalir ke kantong Jepang meningkat tajam, tertinggi di Asia.
Transformasi
negara-negara di Asia Timur menjadi sebuah negara industri baru
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor ekonomi dan non-ekonomi. Adalah William
Overvolt (1992: 275 dalam Setiawan, 2006) menjelaskan strategi yang menjelaskan
bangkitnya Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan utamanya menjadi negara industri
baru. Pertama, orientasi internasional ekonomi Jepang dan NICs membuat mereka
mampu mengeksploitasi peluang yang menguntungkan dari lingkungan ekonomi dunia
dan menerobos keterbatasan dalam pasar domestik. Kedua, negara-negara ekonomi
di Asia memiliki modal yang cukup dalam modernisasi ekonomi dalam periode
sebelum perang dunia, bisa dicermati ketika Jepang tahun 1930-an memiliki basis
industri yang cukup untuk menghadapi situasi peperangan yang besar. Ketiga,
konsensus politik dalam pembangunan ekonomi yang membenarkan perlunya
pemerintahan yang kuat dalam menentukan arah serta mengkontrol pertumbuhan
ekonomi.
Keempat,
tingkat stabilitas politik yang tinggi di kawasan Asia Timur. Kelima,
dlatarbelakangi faktor budaya, Jepang dan NICs menjunjung tinggi nilai-nilai
Kong Hu-Chu yang menekankan pada unsur semangat etos kerja, disiplin, mandiri,
serta mengutamakan pendidikan (Overvolt, 1992: 275). Lebih spesifik lagi,
keberhasilan ekonomi Tiongkok tak lepas dari kebijakan dari elit politiknya
pada saat itu, di mana salah satu pemimpin terkuat Tiongkok Deng Xiaoping
mereformasi ekonomi Tiongkok akibat gagalnya produksi beras secara nasional.
Tahun 1978, Deng Xiaoping tidak menginginkan ekonomi Tiongkok dicampuri oleh
dua aliran kepentingan seperti sebelumnya. Masyarakat Tiongkok bisa
memanfaatkan hasil pertaniannya bebas dijual ke pihak manapun, dan pemerintah
hanya mengambil porsi sedikit dari keuntungan penjualan mereka. Pemerintah
Tiongkok mengajarkan nilai-nilai kewirausahaan kepada rakyatnya supaya ekonomi
Tiongkok tidak selalu bergantung kepada kapitalisme global melainkan alias
Tiongkok harus mandiri secara ekonomi. Salah satu kebijakan Deng Xiaoping ialah
mengembangkan social planned commodity, yang
mana Tiongkok mulai membuka diri kepada investor asing, membuka bank-bank
konvensional, serta penyerapan teknologi dari luar negeri (Wang, 1994: 93).
Hasilnya, Tiongkok awal abad ke-21 menjadi salah satu negara ekonomi terkuat di
dunia berhasil menggeser ekonomi Amerika Serikat.
Taiwan,
sebuah negara yang dianggap masih bagian dari wilayah kedaulatan oleh
Pemerintah Tiongkok, juga mengalami hal yang sama yaitu bangkitnya perekonomian
domestik. Pengaruh Amerika Serikat selama Perang Dingin di Taiwan telah
memberikan perubahan besar. Ekonomi Taiwan terus bergeliat dengan
dikembangkannya kebijakan Land Reform yang
mampu mendongkrak sektor agrikultur Taiwan mengalami peningkatan produksi yang
signifikan. Kemudian Amerika Serikat membuka pasarnya di dalam negeri untuk
menjadi sasaran tujuan ekspor produk-produk Taiwan, terjadilah hubungan erat kerja
sama dagang yang cukup intenst di kedua negara tersebut. Kebijakan Pemerintah
Taiwan terkait privatisasi perusahaan telah berkontribusi besar terhadap perekonomian
Taiwan (Wang, 1994: 150). Selanjutnya adalah Korea Selatan, negara yang dikenal
sebagai salah satu produsen teknologi terbesar di dunia, beberapa produk
teknologi yang amat populer di dunia berasal dari Negeri Gingseng antara lain
Samsung, Hyundai, Daewoo dan LG. Perekonomian Korea Selatan sangat dipengaruhi
oleh para chaebol atau konglomerat
yang menguasai perusahaan di Korea Selatan. Orientasi pembangunan Korea Selatan
fokus pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi, kebijakan Economic Planning Board adalah
implementasi program Pemerintah Korea Selatan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (Wang, 1994: 143).
Hubungan
ekonomi dan sosial-budaya tidak bisa terlepaskan dari kemajuan negara-negara di
Asia Timur yang telah menjadi negara industri baru. Sosial-budaya yang dimiliki
masyarakat mempengaruhi pola dan pemikiran terhadap ekonomi. Ketika pengaruh
konfusianisme membawa kemajuan ekonomi bagi masyarakat Asia Timur, yang mana
dalam ajaran konfusianisme mengajarkan nilai-nilai filosofis berupa kebaikan
antar sesama makhluk hidup, kerja keras dan etos kerja, serta menanamkan nilai-nilai
luhur kemasyarakatan (Ha & Lee, 2007: 962). Abad ke-20, muncul
konfusianisme bermetamorfosis menjadi konfusianisme baru di Asia Timur, sebuah
filosofi dan budaya politik pembaharuan yang meodifikasi ajaran filosofi
konfusianisme serta menjembatani antara tradisionalis dan konfusianisme klasik
dan rasionalitas dalam pemikiran Barat (Wenhua & Yu, 2006: 366). Warisan
konfusianisme, seperti hierarki, kepatuhan, kepemimpinan politik, serta
resiprositas antara pemimpin dan rakyat tidak dapat dielakkan telah menjadi
landasan dan memiliki pengaruh terhadap praktik sosio-politik negara (Harrison,
2003: 21).
Di
tengah kemajuan ekonomi negara-negara di Asia Timur, eksistensi konfusianisme
dipermasalahkan etika terjadi Krisis Moneter tahun 1997 di samping konfusianisme
menghasilkan suatu tipe sistem kapitalisme baru ala Asia, yang berbeda dengan
kapitalisme Barat (Kwon, 2007: 55). Korea Selatan menjadi negara yang
menerapkan ajaran konfusianisme melalui hierarkinya, para chaebol berhasil meningkatkan kuantitas ekspor. Masa keemasan
konfusianisme tiba-tiba sirna sejak Krisis Moneter tahun 1997 terjadi,
konfusianisme dianggap sebagai biang atas kejadian ini. Kesalahan akibat
pemikiran konfusianisme yang mindset-nya
yang terlalu konservatif cenderung abai pada masa depan Asia. Kapitalisme di
Asia berdasarkan konfusianisme bersifat less-adversial,
less-individualistic dan less
self-interest, akibatnya negara-negara Asia Timur menjadi sasaran utama
para investor asing, sementara itu Tiongkok terlalu percaya kepada Amerika
Serikat sebagai kreditur terbesar perumahan rakyat di Amerika yang nantinya
pada tahun 1997 menjadi masalah terbesar, ekonomi Asia mengalami goncangan
hebat, yaitu Krisis Moneter yang tak terduga.
Kesimpulannya
adalah perkembangan ekonomi dis etiap negara ditentukan oleh sinergi antara
para elit politik dan masyarakat itu sendiri. Kawasan Asia Timur menjadi sebuah
percontohan di mana pembangunan ekonomi telah berhasil membawanya menjadi
negara industri baru (NICs). Industrialisasi yang berkembang pesat di Tiongkok,
Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan sebagai roda penggerak perekonomian Asia
Timur, akan tetapi negara-negara tersebut mempunyai strategi ekonomi yang
berbeda dengan yang lain mengikuti kebutuhan dan stabilitas keamanan
masing-masing. Jika Tiongkok berhasil mengentaskan rakyatnya dari konflik
politik dan kegagalan produksi tani tahun 1978 melalui reformasi ekonomi yang
berwawasan kewirausahaan, Jepang bertransformasi menjadi sebuah negara dengan
penguasa teknologi di seluruh dunia. Industri mobil, komunikasi dan teknologi
industri mendorong Jepang semakin diminati investor asing. Kemudian Korea
Selatan, pasca Perang Korea tidak ingin terkurung dalam lingkup kemiskinan,
ajaran konfusianisme menginsipirasi rakyat Korea Selatan untuk bekerja keras
membangun negara, sampai sekarang Korea Selatan termasuk sebagai negara maju di
dunia. Dunia selalu dinamis, ada kalanya sebuah periode di mana negara
merasakan apa yang namanya krisis. Sebuah krisis ekonomi yang tak terduga
terjadi, hubungan antara ekonomi dan sosio-budaya memang tak bisa terlepaskan,
Krisis Moneter 1997 dianggap sebagai hasil atau konsekuensi dari ajaran
konfusianisme. Namun pada dasarnya ajaran konfusianisme bersifat adaptif,
mengikuti sesuai kebutuhan dan keadaan. Kini, Asia Timur tetap bersinar
menancapkan taringnya pada perekonomian dunia, Tiongkok, Jepang dan Korea
Selatan menjadi negara industri terkuat di dunia.
Referensi:
Ha, Yong-Chool & Lee, Wang Hwi.
2007. The Politics of Economic Reform in
South Korea: Crony Capitalism After Ten Sours in Asian Survey. Vol. 47, No. 46.
Harrison, Selig. S. 2003. Korean Endgame: A Strategy for Reunification
and U.S. Disengangement. Princeton: Princeton University Press.
Kwon, Keedon. 2007. Economic Development in East Asia and Critique of The Post-Confucianism
Thesis, Theory and Society. Vol. 36 No. 1.
Overvalt, William. 1992. Strategi-strategi Pembangunan Ekonomi Asia
Pasifik dalam Marck Borthwick, Pacific
Century: The Emergence of Modern Pacific Asia. Boulder: Westview Press.
Wang, James C. F. 1994. Comparative Asian Politics: Powers, Policy
and Change. New Jersey: Prentice Hall.
Wenhua, Chai & Xu, Yang. 2006. Traditional Confucianism in Modern China.
Frontiers of Philosophy in China. Vol. 1, No. 3.
0 komentar:
Posting Komentar