• LinkedIn

Rabu, 22 Januari 2020

Pembangunan Ekonomi dan Pengaruh Kultur Terhadap Stabilitas Ekonomi di Asia Timur

20.45 // by KIBcentre // No comments



by Achmad Romadon Mubarok

Ekonomi adalah hal penting sebagai instrumen negara dalam rangka mensejahterahkan rakyatnya. Negara-negara di kawasan Asia Timur kini tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia baru. Sebut saja Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan, ketiga negara tersebut kini menjadi negara industri yang berkembang pesat bahkan mampu berekspansi ke berbagai negara. Cita-cita bangsa yang disampaikan petinggi Partai Komunis Tiongkok yang berharap Tiongkok dapat menjadi negara ekonomi yang kuat. Meski pasca Perang Dunia II, situasi dunia masih mencekam di tahun 1945-1960 akibat belum sepenuhnya pulih pergerakan sektor ekonominya. Tiongkok pada tahun 1959-1960 mengalami kegagalan produksi beras sehingga memicu terjadinya gejolak ekonomi di Negeri Tirai Bambu tersebut. Di Semenanjung Korea pasca Perang Dunia II masih terjadi perang saudara antara Korea Utara dan Korea Selatan. Belum lagi perekonomian Jepang porak-poranda akibat guncangan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, konsekuensi atas keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II.

Salah satu aspek menjadi keberhasilan Asia Timur mengalami peningkatan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat adalah melalui industrialisasi. Pembangunan ekonomi menjadi pondasi kuat untuk memajukan negara masing-masing di kawasan Asia Timur. Pasca Perang Dunia II adalah timing yang sangat tepat bagi negara-negara di Asia Timur untuk memulihkan perekonomian dan menempatkannya sebagai prioritas utama. Tentunya setiap negara-negara di Asia Timur mempunyai strategi untuk bisa tumbuh menjadi New Industrial Countries (NICs). Salah satu wujud keberhasilan negara-negara di Asia Timur bangkit dari keterpurukan adalah Jepang. Negeri Sakura sebelumnya mengalami pergeseran dari semula negara imperialis menjadi negara yang hancur dan pasifis (Hennida et al, tt.). Tiga puluh tahun kemudian, perekonomian Jepang berkembang membanggakan, bagaimana tidak, selama tiga dekade pasca PD II Jepang hadir dan memimpin barisan negara-negara industri baru (NICs Asia). Salah satu prestasi Jepang ialah arus modal asing (foreign direct investment) yang mengalir ke kantong Jepang meningkat tajam, tertinggi di Asia.

Transformasi negara-negara di Asia Timur menjadi sebuah negara industri baru dilatarbelakangi oleh beberapa faktor ekonomi dan non-ekonomi. Adalah William Overvolt (1992: 275 dalam Setiawan, 2006) menjelaskan strategi yang menjelaskan bangkitnya Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan utamanya menjadi negara industri baru. Pertama, orientasi internasional ekonomi Jepang dan NICs membuat mereka mampu mengeksploitasi peluang yang menguntungkan dari lingkungan ekonomi dunia dan menerobos keterbatasan dalam pasar domestik. Kedua, negara-negara ekonomi di Asia memiliki modal yang cukup dalam modernisasi ekonomi dalam periode sebelum perang dunia, bisa dicermati ketika Jepang tahun 1930-an memiliki basis industri yang cukup untuk menghadapi situasi peperangan yang besar. Ketiga, konsensus politik dalam pembangunan ekonomi yang membenarkan perlunya pemerintahan yang kuat dalam menentukan arah serta mengkontrol pertumbuhan ekonomi.

Keempat, tingkat stabilitas politik yang tinggi di kawasan Asia Timur. Kelima, dlatarbelakangi faktor budaya, Jepang dan NICs menjunjung tinggi nilai-nilai Kong Hu-Chu yang menekankan pada unsur semangat etos kerja, disiplin, mandiri, serta mengutamakan pendidikan (Overvolt, 1992: 275). Lebih spesifik lagi, keberhasilan ekonomi Tiongkok tak lepas dari kebijakan dari elit politiknya pada saat itu, di mana salah satu pemimpin terkuat Tiongkok Deng Xiaoping mereformasi ekonomi Tiongkok akibat gagalnya produksi beras secara nasional. Tahun 1978, Deng Xiaoping tidak menginginkan ekonomi Tiongkok dicampuri oleh dua aliran kepentingan seperti sebelumnya. Masyarakat Tiongkok bisa memanfaatkan hasil pertaniannya bebas dijual ke pihak manapun, dan pemerintah hanya mengambil porsi sedikit dari keuntungan penjualan mereka. Pemerintah Tiongkok mengajarkan nilai-nilai kewirausahaan kepada rakyatnya supaya ekonomi Tiongkok tidak selalu bergantung kepada kapitalisme global melainkan alias Tiongkok harus mandiri secara ekonomi. Salah satu kebijakan Deng Xiaoping ialah mengembangkan social planned commodity, yang mana Tiongkok mulai membuka diri kepada investor asing, membuka bank-bank konvensional, serta penyerapan teknologi dari luar negeri (Wang, 1994: 93). Hasilnya, Tiongkok awal abad ke-21 menjadi salah satu negara ekonomi terkuat di dunia berhasil menggeser ekonomi Amerika Serikat.

Taiwan, sebuah negara yang dianggap masih bagian dari wilayah kedaulatan oleh Pemerintah Tiongkok, juga mengalami hal yang sama yaitu bangkitnya perekonomian domestik. Pengaruh Amerika Serikat selama Perang Dingin di Taiwan telah memberikan perubahan besar. Ekonomi Taiwan terus bergeliat dengan dikembangkannya kebijakan Land Reform yang mampu mendongkrak sektor agrikultur Taiwan mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Kemudian Amerika Serikat membuka pasarnya di dalam negeri untuk menjadi sasaran tujuan ekspor produk-produk Taiwan, terjadilah hubungan erat kerja sama dagang yang cukup intenst di kedua negara tersebut. Kebijakan Pemerintah Taiwan terkait privatisasi perusahaan telah berkontribusi besar terhadap perekonomian Taiwan (Wang, 1994: 150). Selanjutnya adalah Korea Selatan, negara yang dikenal sebagai salah satu produsen teknologi terbesar di dunia, beberapa produk teknologi yang amat populer di dunia berasal dari Negeri Gingseng antara lain Samsung, Hyundai, Daewoo dan LG. Perekonomian Korea Selatan sangat dipengaruhi oleh para chaebol atau konglomerat yang menguasai perusahaan di Korea Selatan. Orientasi pembangunan Korea Selatan fokus pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi, kebijakan Economic Planning Board adalah implementasi program Pemerintah Korea Selatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Wang, 1994: 143).

Hubungan ekonomi dan sosial-budaya tidak bisa terlepaskan dari kemajuan negara-negara di Asia Timur yang telah menjadi negara industri baru. Sosial-budaya yang dimiliki masyarakat mempengaruhi pola dan pemikiran terhadap ekonomi. Ketika pengaruh konfusianisme membawa kemajuan ekonomi bagi masyarakat Asia Timur, yang mana dalam ajaran konfusianisme mengajarkan nilai-nilai filosofis berupa kebaikan antar sesama makhluk hidup, kerja keras dan etos kerja, serta menanamkan nilai-nilai luhur kemasyarakatan (Ha & Lee, 2007: 962). Abad ke-20, muncul konfusianisme bermetamorfosis menjadi konfusianisme baru di Asia Timur, sebuah filosofi dan budaya politik pembaharuan yang meodifikasi ajaran filosofi konfusianisme serta menjembatani antara tradisionalis dan konfusianisme klasik dan rasionalitas dalam pemikiran Barat (Wenhua & Yu, 2006: 366). Warisan konfusianisme, seperti hierarki, kepatuhan, kepemimpinan politik, serta resiprositas antara pemimpin dan rakyat tidak dapat dielakkan telah menjadi landasan dan memiliki pengaruh terhadap praktik sosio-politik negara (Harrison, 2003: 21).

Di tengah kemajuan ekonomi negara-negara di Asia Timur, eksistensi konfusianisme dipermasalahkan etika terjadi Krisis Moneter tahun 1997 di samping konfusianisme menghasilkan suatu tipe sistem kapitalisme baru ala Asia, yang berbeda dengan kapitalisme Barat (Kwon, 2007: 55). Korea Selatan menjadi negara yang menerapkan ajaran konfusianisme melalui hierarkinya, para chaebol berhasil meningkatkan kuantitas ekspor. Masa keemasan konfusianisme tiba-tiba sirna sejak Krisis Moneter tahun 1997 terjadi, konfusianisme dianggap sebagai biang atas kejadian ini. Kesalahan akibat pemikiran konfusianisme yang mindset-nya yang terlalu konservatif cenderung abai pada masa depan Asia. Kapitalisme di Asia berdasarkan konfusianisme bersifat less-adversial, less-individualistic dan less self-interest, akibatnya negara-negara Asia Timur menjadi sasaran utama para investor asing, sementara itu Tiongkok terlalu percaya kepada Amerika Serikat sebagai kreditur terbesar perumahan rakyat di Amerika yang nantinya pada tahun 1997 menjadi masalah terbesar, ekonomi Asia mengalami goncangan hebat, yaitu Krisis Moneter yang tak terduga.

Kesimpulannya adalah perkembangan ekonomi dis etiap negara ditentukan oleh sinergi antara para elit politik dan masyarakat itu sendiri. Kawasan Asia Timur menjadi sebuah percontohan di mana pembangunan ekonomi telah berhasil membawanya menjadi negara industri baru (NICs). Industrialisasi yang berkembang pesat di Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan sebagai roda penggerak perekonomian Asia Timur, akan tetapi negara-negara tersebut mempunyai strategi ekonomi yang berbeda dengan yang lain mengikuti kebutuhan dan stabilitas keamanan masing-masing. Jika Tiongkok berhasil mengentaskan rakyatnya dari konflik politik dan kegagalan produksi tani tahun 1978 melalui reformasi ekonomi yang berwawasan kewirausahaan, Jepang bertransformasi menjadi sebuah negara dengan penguasa teknologi di seluruh dunia. Industri mobil, komunikasi dan teknologi industri mendorong Jepang semakin diminati investor asing. Kemudian Korea Selatan, pasca Perang Korea tidak ingin terkurung dalam lingkup kemiskinan, ajaran konfusianisme menginsipirasi rakyat Korea Selatan untuk bekerja keras membangun negara, sampai sekarang Korea Selatan termasuk sebagai negara maju di dunia. Dunia selalu dinamis, ada kalanya sebuah periode di mana negara merasakan apa yang namanya krisis. Sebuah krisis ekonomi yang tak terduga terjadi, hubungan antara ekonomi dan sosio-budaya memang tak bisa terlepaskan, Krisis Moneter 1997 dianggap sebagai hasil atau konsekuensi dari ajaran konfusianisme. Namun pada dasarnya ajaran konfusianisme bersifat adaptif, mengikuti sesuai kebutuhan dan keadaan. Kini, Asia Timur tetap bersinar menancapkan taringnya pada perekonomian dunia, Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan menjadi negara industri terkuat di dunia.

Referensi:
Ha, Yong-Chool & Lee, Wang Hwi. 2007. The Politics of Economic Reform in South Korea: Crony Capitalism After Ten Sours in Asian Survey. Vol. 47, No. 46.
Harrison, Selig. S. 2003. Korean Endgame: A Strategy for Reunification and U.S. Disengangement. Princeton: Princeton University Press.
Kwon, Keedon. 2007. Economic Development in East Asia and Critique of The Post-Confucianism Thesis, Theory and Society. Vol. 36 No. 1.
Overvalt, William. 1992. Strategi-strategi Pembangunan Ekonomi Asia Pasifik dalam Marck Borthwick, Pacific Century: The Emergence of Modern Pacific Asia. Boulder: Westview Press.
Wang, James C. F. 1994. Comparative Asian Politics: Powers, Policy and Change. New Jersey: Prentice Hall.
Wenhua, Chai & Xu, Yang. 2006. Traditional Confucianism in Modern China. Frontiers of Philosophy in China. Vol. 1, No. 3.

0 komentar:

Posting Komentar