Baru-baru ini warga dunia diramaikan dengan kasus kematian
George Floyd (46 tahun), pria keturunan Afro-Amerika yang tinggal di
Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS). Kematiannya menyulut amarah dan
aksi besar-besaran di berbagai negara bagian AS, hingga meluas ke pelosok
dunia. Hal itu lantaran Floyd mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi
setelah petugas Kepolisian Minneapolis menangkap Floyd dengan tuduhan dirinya
membeli rokok dengan uang kertas USD20 palsu. Massa aksi solidaritas untuk
George Floyd berkumpul untuk mendoakan, menunjukkan rasa empati, menolak
supremasi kulit putih, dan menuntut keadilan bagi George Floyd agar kasusnya
diusut hingga tuntas dan petugas Kepolisian Minneapolis dihukum sesuai
undang-undang yang berlaku. Netizen di berbagai belahan dunia pun ramai-ramai
berkomentar di media sosial Twitter melalui tagar #BlackLivesMatter sebagai
bentuk empati terhadap Geroge Floyd dan menolak supremasi kulit putih di
berbagai belahan dunia.
Seiring
dengan hal itu, di dalam negeri isu terkait hak-hak warga Papua turut muncul ke
permukaan dan menjadi perbincangan dunia maya dengan turut munculnya tagar
#PapuanLivesMatter. Kejadian George Floyd, mengingatkan bangsa Indonesia bahwa
perlakuan rasis di Indonesia juga masih terjadi, utamanya terhadap warga Papua
dan Timur Indonesia. Tagar #PapuanLiesMatter berangkat dari memori tindakan
rasis yang dilakukan aparat kepolisian Indonesia terhadap Obby Kogoya yang juga
mendapat perlakuan serupa.
KIB Centre
menggelar program diskusi secara daring berjudul KIB Talk: #BlackLivesMatter
x #PapuanLivesMatter. Bagaimana Cara Menyikapi Rasisme? Untuk membedah aksi
solidaritas George Floyd, munculnya tagar #BlackLivesMatter yang menentang
supremasi kulit putih dan rasisme, hingga menjalar pada munculnya tagar
#PapuanLivesMatter serta untuk memberikan pemahaman maupun pandangan bentuk
tindakan rasis dan bagaimana menyikapi serta mengantisipasi rasisme dari diri
sendiri. Mira Permatasari Dharmawan selaku Direktur The Yudhoyono Institute
dan Rika Adistyarini Schmall selaku diaspora Indonesia di Amerika Serikat
membagikan pandangannya terkait permasalahan ini dari perspektif akademisi,
khususnya dari kacamata ilmu Hubungan Internasional dan juga bagaimana
kehidupan sebagai kelompok minoritas dan pendatang di Amerika Serikat.
Rika Schmall
menceritakan kasus rasisme merupakan hal yang sangat kompleks karena Amerika
Serikat memiliki catatan kelam mengenai sejarah panjang perbudakan di masa
lalu. Bangsa Amerika belum sepenuhnya terlepas dari isu rasisme dan keadilan
sosial untuk kaum kulit hitam meskipun perbudakan telah lama dihapuskan. Kasus
bermuara dari sentimen rasisme yang terjadi berulang kali dan menjadi semacam
fenomena gunung es yang menimbulkan kegaduhan dalam negeri. Hal ini diperparah
ketika dalam waktu yang bersamaan, Amerika Serikat sedang berjuang keras
sebagai negara yang terinfeksi wabah Covid-19 tertinggi di dunia. Tak bisa dipungkiri bahwa kasus yang menimpa
Floyd telah menyulut kemarahan massal yang berujung pada aksi penjarahan dan
kericuhan yang terjadi di banyak negara bagian di Amerika Serikat. Rika
melaporkan situasi di tempat tinggalnya, Washington DC, hampir setiap hari
masih terjadi gelombang demonstrasi dengan konsentrasi massa yang lebih besar
namun dinilai lebih kondusif dibandingkan dengan aksi yang sama yang terjadi di
negara bagian lainnya. Hal ini dikarenakan Washington DC merupakan salah satu
negara bagian yang menjunjung tinggi perbedaan dan kemajemukan.
Mira
Permatasari menekankan kembali bahwa kasus yang dialami oleh George Floyd
merupakan pengingat bagi kita semua bahwa diskriminasi dapat terjadi kepada
siapapun dan di manapun tak terkecuali di Amerika Serikat yang mendapat julukan
A Champion of Democracy. Kritik yang diberikan oleh beberapa negara
seperti Cina, Iran, Ghana, Kenya dan Eropa kepada Amerika Serikat membuat kita
mempertanyakan kembali sistem demokrasi di sana. Presiden Ke-6 Republik
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono beberapa hari lalu membuat tulisan yang menggambarkan
bahwa Amerika Serikat saat ini sedang berada pada situasi sulit karena
menghadapi 3 isu besar yakni kasus Covid-19, kerusuhan dan permasalahan
ekonomi. Beliau mengatakan bahwa sejarah akan membuktikan apa yang bisa terjadi
dengan Amerika Serikat. Isu ini kemudian menjadi penting untuk kita, karena
Indonesia memiliki lebih dari 600 etnis yang menjadikan Indonesia sebagai
negara kepulauan dengan keberagaman budaya. Terlebih Indonesia pernah
menghadapi berbagai krisis tentang banyak hal, yang membuat kita tidak bisa
menjadikan kasus kekerasan seperti yang terjadi kepada Floyd sebagai pembiaran.
Meskipun apa
yang terjadi dengan Floyd tidak bisa disamakan dengan kasus diskriminasi yang
terjadi dengan saudara kita di Papua, akan tetapi kita dapat menemukan benang
merah yang sama, yakni kemanusiaan dan keadilan. Jadikan momentum saat ini
sebagai refleksi untuk lebih perhatian terhadap siapapun etnis di negeri ini.
Kita harus bertanya kepada pemerintah, sejauh mana mereka memperhatikan hak-hak
saudara kita di Papua, seperti apa bentuk dukungan yang seharusnya kita berikan
untuk mereka. Prinsipnya adalah apa yang terjadi di Indonesia dengan segala
kerawanan yang kita hadapi, harus dipastikan bahwa keadilan dan hukum adalah
panglimanya. Kebebasan berpendapat dan suara rakyat harus didengar. Itu bukan
hanya tugas pemerintah, tetapi kita semua harus mengambil peran untuk
menegakkan keadilan di Indonesia.
Mengenai
cara untuk mengantisipasi dan menyikapi rasisme, Rika mengatakan bahwa
menjunjung tinggi nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan di Amerika dinilai
efektif dalam menjaga nama baik dan
citra Indonesia. Menjadi minoritas di Amerika Serikat merupakan keunikan tersendiri
bagi Rika Schmall. Walaupun Rika mendapatkan sambutan baik dari masyarakat
sekitar, dirinya harus mampu untuk beradaptasi dalam bermasyarakat dan berteman
dengan berbagai kalangan serta komunitas setempat, masyarakat etnis lain
sebagai bagian dari upaya untuk menghargai keberagaman. Menurut Rika, semua
individu, terlepas dari warna kulit, ras atau etnis dan agamanya memiliki hak
dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan hidup layak, mendapatkan pekerjaan
sesuai kapabilitasnya dan berhak untuk dihargai hidupnya secara sama. Hal
serupa diungkapkan oleh Mira, menurutnya di tengah keberagaman dan keunikan
yang dimiliki Indonesia saat ini menjadi momentum yang sangat baik untuk menghargai
perbedaan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar